Sebagai seseorang yang menikmati dan mengagumi karya-karya tulisan fiksi yang tersebar di berbagai platform di internet, film original Netflix berjudul Dear David sangat menggugah ketertarikan saya selama menyaksikannya. Jika selama ini saya hanya menjadi audiens dari tulisan fiksi para penulis yang bersembunyi di balik anonimitas, pada film yang disutradarai oleh Lucky Kuswandi ini, saya dapat meminjam kacamata para author yang menjadi sumber dari fantasi kita selama ini akan seseorang yang dikagum-kagumkan.
Dibintangi oleh Shenina Cinnamon yang namanya kian melejit semenjak menjadi bintang utama dalam film Penyalin Cahaya (2021), Dear David mencoba mengarungi berbagai hal yang kerap dialami oleh mereka yang baru saja hendak menginjak umur-umur dewasa. Mulai dari persahabatan, percintaan, hingga pengkhianatan semuanya terangkum dengan apik.
*review ini mengandung spoiler*
Sinopsis Dear David
Sang karakter utama-Laras-datang dari keluarga sederhana dengan ambisi besarnya untuk menjadi mahasiswa di universitas ternama. Di balik ketekunannya sebagai siswi penerima beasiswa dan ketua OSIS di sekolahnya, ia memiliki sisi gelap dalam dirinya di mana Laras sebenarnya adalah penulis cerita fiksi dewasa dengan menjadikan siswa beken bernama David sebagai objek penulisannya. Iya, ketertarikannya kepada David membuat ia terinspirasi akan hal-hal liar yang selalu ia tumpahkan di dalam cerita-cerita "porno"nya.
Sialnya, cerita-cerita fiksi yang ia tulis secara anonim tersebar begitu saja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Meskipun tidak mau mengakui dirinya adalah dalang dari seluruh cerita porno tersebut, hubungannya dengan David (Emir Mahira) dan Dilla (Caitlin North-Lewis)-sahabat dekatnya-menjadi renggang dan dipenuhi oleh berbagai guncangan hanya untuk menutupi identitasnya. Meskipun pada akhirnya, semua terbongkar begitu saja dan Laras pun terpaksa diharuskan untuk mengaku bahwa kehebohan yang menjadi-jadi tersebut merupakan ulahnya.
Well, jangankan menulis cerita fiksi, menjadi penikmat akan fantasi-fantasi liar yang secara luas disuguhkan oleh tulisan-tulisan para penggemar saja sudah cukup dipandang sangat aneh oleh sebagian banyak orang. Jadi, bisa kamu bayangkan perasaan dan pressure yang dialami oleh Laras sebagai penulis yang identitasnya terkuak secara publik dalam film ini, kan?
Pesan untuk Generasi Muda
Pesan yang disuguhkan oleh Dear David sangatlah relevan, terlebih lagi untuk generasi muda di zaman ini. Cerita Laras mungkin mengingatkan kita pada karakter Kat di serial HBO Euphoria yang memiliki sisi gelap dalam dirinya dan tidak semua orang mengetahuinya. Sehingga ketika orang terdekatnya mengetahui rahasia tersebut, semuanya akan berpendapat, "Bagaimana bisa seorang Laras, yang notabenenya sebagai siswi beasiswa dan ketua OSIS ternyata memiliki fantasi liar tentang David, teman sekelasnya?"
Berani dalam mengangkat konteks sensitif seperti seks, mental health hingga orientasi seksual dengan latar anak-anak muda, Dear David patut diacungi jempol. Tidak dapat kita mungkiri bahwa masih banyak generasi muda yang enggan untuk membicarakan ketiga poin tersebut secara gamblang, malah cenderung menutupi dan menganggapnya sebagai aib. Namun, Dear David memberikan validasi bahwa hal-hal seputar konteks tersebut wajar untuk dihadapi oleh mereka.
Pada scene penutup, di mana Laras dipaksa untuk mengaku dan meminta maaf akan cerita-cerita fiksi tentang David yang tersebar sangat membekas untuk saya pribadi. Berdiri sendiri di depan seluruh pihak sekolah dan siswa siswi, Laras meminta maaf kepada David karena membuat reputasinya menjadi berantakan karena cerita-cerita fiksi tentang dirinya dan kepada Dilla, karena Laras cukup pengecut untuk mengakui tulisan tersebut adalah miliknya sehingga membuat Dilla yang memiliki image "nakal" disudutkan oleh tuduhan dan rundungan seluruh warga sekolah.
Yang terakhir, Laras mengucapkan maaf kepada dirinya sendiri. "Tidak seharusnya saya merasa malu ataupun bersalah, saya adalah manusia muda yang punya gairah dan perempuan yang sedang jatuh cinta. Memangnya itu salah? Saya rasa enggak."
Film dengan genre coming of age yang satu ini tidak hanya seputar percintaan anak SMA, melainkan isu mental health, penerimaan jati diri dan pembenaran remaja yang memiliki gairah serta ambisi. Tidak hanya untuk kalangan muda, film ini juga perlu dinikmati oleh keluarga agar dapat membuka pikiran dan hati untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dalam menelusuri diri bagi mereka yang hendak beranjak dewasa.
(DIP/tim)