Perihal Melancholic Bitch, rasanya terlalu banyak yang bisa dibahas mengenai band ini. Sedikit ironis memang, mengingat Melancholic Bitch kerap muncul dan hilang dengan alasan yang hanya diketahui mereka sendiri. Album full-length terakhir mereka, NKKBS Bagian Pertama, dirilis pada 2017. Jika jangka waktu lima tahun dari rilisan tersebut hingga sekarang terasa cukup lama, jarak antara NKKBS Bagian Pertama dan album mereka sebelumnya, Balada Joni dan Susi, adalah delapan tahun. Entah apakah NKKBS Bagian Kedua sendiri pernah direncanakan atau tidak. Rasanya, menjadi pendengar Melancholic Bitch juga berarti menjadi penyabar.
Soal pertunjukan langsung pun, menyaksikan Melancholic Bitch adalah hal yang tak kalah sulitnya. Selain showcase peluncuran album, mereka jarang sekali tampil secara live. Tak heran jika sebutan "band mitos" seringkali disematkan pada Melancholic Bitch. Tak heran pula jika konser yang dilangsungkan di Gudskul pada 8 November 2022 ini juga diumumkan secara tiba-tiba, walau di balik layar perencanaannya sudah berjalan lama. Seperti yang diperkirakan, tiket konser tersebut pun ludes dalam sekejap: 24 menit.
Potongan lirik "Rabu, langit kelabu/Rabu, tanpa ragu-ragu/Perintahkan padaku/Rebut segalanya untukmu" dari lagu "7 Hari Menuju Semesta" seakan menjadi ramalan yang terlampau tepat. Pasalnya, langit telah kelabu bahkan dari hari Selasa. Seperti menunggu waktu yang tepat, hujan pun turun mendadak deras menjelang konser. Bagai terpanggil, benar saja saya pun menerobos hujan yang tak kecil itu tanpa ragu-ragu.
Konser dibuka dengan penampilan dari Sillas, band indie pop bernuansa shoegaze dari Cirebon. Dalam set-nya, mereka membawakan lagu-lagu berbahasa Inggris, Indonesia, dan Arab. Penggunaan bahasa Arab dalam lagu ini didasari oleh keinginan mereka untuk menekankan bahwa bahasa tersebut adalah produk kebudayaan, bukan bagian dari suatu agama.
Pasca penampilan Sillas, seluruh penonton terlihat enggan meninggalkan tempat mereka—takut spot yang sudah ditempati direbut orang lain. Tak lama, yang ditunggu-tunggu pun mulai. Melancholic Bitch memulai penampilannya dengan "Selat, Malaka", lagu dari NKKBS Bagian Pertama dengan lirik samar yang menceritakan tentang suatu pertemuan, revolusi, dan Tan Malaka.
Seperti penampilan Melancholic Bitch biasanya, di antara lagu-lagu, sang vokalis Ugoran Prasad menyisipkan sejumlah speech dan narasi yang berkelindan dengan cerita dari tiap lagu. Pada bagian awal konser, Ugo mengatakan bahwa Melancholic Bitch adalah proyek yang dimulai untuk melihat dunia sekitar, dengan cara pandang yang dekat dengan mereka pada saat itu. Lebih lanjut, ia kemudian mengatakan bahwa waktu-yang mengikat kita semua-akan mengakhiri semuanya. Pernyataan ini cukup membuat khawatir penonton, walau kemudian rasa khawatir itu terlupakan juga ketika Melancholic Bitch memainkan lagu selanjutnya, "On Genealogy of Melancholia". Lagu dari album Anamnesis ini rasanya cukup merepresentasikan fase awal Melancholic Bitch. Selain merupakan nama pertama dari Melancholic Bitch, isi liriknya yang gelap juga menggambarkan cara pandang mereka di masa tersebut.
Mungkin karena kelewat rindu, penonton seperti kesetanan saat Melancholic Bitch memainkan lagu-lagu seperti "666,6", "Cahaya, Harga", dan "Aspal, Dukun". Moshpit yang terbentuk beberapa kali melebar tak terkendali, menyeret penonton yang berada di area depan. Untungnya, hal ini ditangani dengan cepat. Tragisnya kisah Joni dan Susi, hantu-hantu realita kehidupan masa Orde Baru, semua tersampaikan layaknya "dakwah" bagi penonton yang terjebak dalam euforia.
Waktu menjadi bahasan yang seakan melandasi konser malam tersebut. Setelah membawakan lagu "Distopia", Ugo menyatakan bahwa janji Joni dan Susi untuk "Bersama-sama selamanya" sungguhlah mengerikan. Bagaimana tidak, rentang waktu tanpa batas yang sejatinya tak bisa dipahami oleh manusia, dijanjikan untuk dilewati bersama. Memang, seperti apa sebenarnya selamanya itu?
Ugo lantas menyebut bahwa jika Melancholic Bitch memiliki warisan yang bisa dibanggakan, warisan tersebut adalah Leilani Hermiasih—solois Yogyakarta yang dikenal dengan nama Frau. Sebelum membawakan "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa" yang sempat di-cover oleh Frau untuk EP-nya, Starlit Carousel, ia menyatakan bahwa "Ini lagunya Lani [sekarang]."
Lanjutan dari pernyataan di awal konser akhirnya dikeluarkan juga. Ugo mengatakan bahwa pertunjukan malam tersebut merupakan kali terakhir Melancholic Bitch akan tampil langsung di Pulau Jawa. Sontak penonton bingung dan kaget, namun panggung tak memberikan penjelasan lebih lanjut. Ugo hanya berkata bahwa Melancholic Bitch tak akan hilang, ia akan terus hidup di antara kami, para penonton, dan mungkin keturunan-keturunannya kelak. Setelahnya, mereka membawakan "Lagu untuk Resepsi Pernikahan".
Lagu yang terakhir dibawakan adalah "Menara", klimaks cerita cinta Joni dan Susi-lagu yang memang sesuai untuk menutup pertunjukan malam itu. "Berdarah luka di tanganku/Berdarah luka di tanganmu/Saling menggenggam kita/Mengikat darah kita selamanya/Kita akan berpinak banyak-banyak". Kamilah sekawanan Joni itu. Kamilah sekawanan Susi itu.
Yang perlu diingat dari mitos adalah sifatnya yang persisten. Ia mampu untuk terus bertahan seiring zaman, berubah dan terlahir kembali bersama waktu. Dua hari setelah konser di Gudskul, Melancholic Bitch menyatakan bahwa pasca penampilan mereka di Makassar, mereka akan "pindah" menjadi Majelis Lidah Berduri. Terdapat banyak alasan di balik pergantian nama ini, salah satunya adalah karena nama Melancholic Bitch yang merupakan candaan pada diri sendiri ini sudah terlalu serampangan dalam pemaknaannya sekarang. Album mereka selanjutnya, Hujan Orang Mati, juga akan dirilis di bawah nama Majelis Lidah Berduri. Apa terlalu naif jika berharap nama baru ini akan membawa "gerombolan" ini menjadi lebih aktif bermusik? Lagi-lagi, hanya waktu yang bisa mengungkapnya.
(alm/tim)