Setelah sukses menggelar pameran tunggal: The Theater of Me di Museum MACAN pada 4 Juni-16 Oktober 2022, perupa kenamaan Indonesia, Agus Suwage lanjut menerbitkan antologi kontemporer berjudul Pressure and Pleasure, yang turut melibatkan enam penulis hebat tanah air.
Pada Pressure and Pleasure; penulis Erni Aladjai, Eka Kurniawan, Goenawan Mohamad, Laksmi Pamuntjak, Mahfud Ikhwan, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, mencoba merespons dan menyelami praktik artistik Agus Suwage di The Theater of Me menggunakan pendekatan kreatif.
Tak heran jika antologi Pressure and Pleasure juga disebut menawarkan sebuah perspektif alternatif dalam memahami karya perupa kontemporer dan mendorong kolaborasi lintas disiplin. Melansir detikcom, Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, menuturkan buku ini semacam antologi kontemporer Indonesia dan bukanlah katalog pameran seperti pada umumnya publikasi di pameran tunggal.
"Kami berupaya untuk memperluas konsep terdalam dan proses dalam 'membaca' karya Agus Suwage, menarik gambaran dan simpati dengan para pemikir kritis secara bersama-sama. Untuk terlibat dengan karya Agus Suwage diperlukan eksplorasi dalam menggali kekayaan literatur dan kutipan-kutipan artistiknya, serta memahami sejarah politik di kota tempat sang perupa tinggal ketika ia berkarya," ungkap Aaron Seeto.
Sekilas Tentang Agus Suwage dan The Theater of Me
Agus Suwage dikenal sebagai seorang perupa yang tumbuh di era pergolakan sosial dan politik dalam negeri, medio '90-an silam. Pada dasarnya, karya-karya beliau menguliti perkara harapan dan rasa frustrasi sebuah generasi, yang hidup di antara dinamika kekuasaan dan identitas domestik maupun global.
Dituangkan lewat narasi yang intim dan privat, karya Agus Suwage meliputi tema-tema budaya dan politik secara luas, namun cukup terbilang dekat bagi masyarakat. Atau kasarnya, sang perupa mampu menerjemahkan intrik kekuasaan sistemik yang memberi pengaruh pada kehidupan sehari-hari-dengan berfokus kepada diri sendiri sebelum akhirnya menyentuh ranah sosial yang jauh lebih luas.
Pada eksebisi The Theater of Me, Suwage pun kembali bermain di ranah yang ia kuasai. Di mana observasi dan eksplorasinya selama 25 tahun berkarya, mampu merangkum permasalahan yang berada di konteks sosial secara kritis, sambil memproyeksikan relasi: cita-cita individual dan rasa tanggung jawab. Secara langsung atau tidak, potret-potret diri yang dihantarkan oleh Suwage memberikan sebuah gambaran nyata terhadap pertalian: identitas nasional, politik, masyarakat, dan ekspresi individu yang membawa kita ke dalam ruang psikologis yang kompleks.
Karya-karyanya bahkan mencakup ke sejumlah bidang lain, mulai dari sejarah seni rupa Indonesia dan dunia, filsafat, musik, dan politik, hingga mengidentifikasi pendekatan artistik dan keterhubungan konsep yang serupa dengan perupa lainnya, melintasi batas ruang dan waktu.
Pressure and Pleasure: Sebuah Antologi Kontemporer Indonesia yang Terilhami Karya-karya Agus Suwage
Melanjutkan paradoks: kompleksitas dan kesederhanaan karya Agus Suwage di The Theatre of Me yang monumental, sang perupa lantas mempublikasikan Pressure and Pleasure, dengan menggandeng penulis fiksi, esais, hingga dramawan nasional. Pada proyek ini, enam orang hebat dari masing-masing bidang tersebut menginterpretasi karya spesial Suwage ke dalam beberapa buah tulisan fiksi terbaru.
Erni Aladjai menyumbang fiksi "Kami yang Mati Bahagia"; Eka Kurniawan menuliskan "Kenapa Aku Begitu Jelek?"; Goenawan Mohamad mengisahkan "Manurung, Sebuah dan Beberapa Cerita (sebuah petilan)", Laksmi Pamuntjak membuat "Rahasia Arang: Dialog Carkultera Wage Sae dengan Bapaknya Dua Puluh Enam Tahun Kemudian"; Mahfud Ikhwan merespons dengan "Setelah Hilangnya Pelukis Iman Amanullah", lalu Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menuliskan "Dan Telinganya Tersumbat".
Menurut Eka Kurniawan, yang merespons seri lukisan Ugly Self Portraits (1997), Agus Suwage adalah sosok seniman menarik yang dikaguminya. "Dia adalah sosok seniman yang saya kagumi diam-diam, tentu saja menyenangkan dan juga menantang," kata Eka.
Tak hanya itu, sang penulis Cantik Itu Luka pun mengungkap kalau semangat karya Suwage yang mengulas keburukan sebagai representasi dari ekspresi dan kritik diri, cukup menarik perhatian dan menginspirasi dirinya.
"Keburukan sendiri tidak melulu tentang eksklusi dari hal-hal yang dianggap ideal oleh masyarakat, namun dapat juga menjadi komoditas dari sudut pandang ekonomi. Alih-alih menulis soal studi literatur, esai ini lahir dari cerita-cerita trivia yang saya kumpulkan dan saya harap dapat membuka pandangan kita mengenai keburukrupaan," terang Eka.
Sementara lain, sastrawan senior, Goenawan Mohamad yang kebagian menulis "Manurung, Sebuah dan Beberapa Cerita (sebuah petilan)" menuturkan, kalau proyek ini adalah sebuah eksplorasi baru bagi dirinya. "Menulis fiksi yang merespons pada sebuah karya perupa. Sesuatu yang saya belum pernah lakukan sebelumnya," kata Goenawan.
Buku antologi kontemporer Pressure and Pleasure telah diluncurkan di ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) ke-9, pada tanggal 26 Oktober lalu. Publik juga sudah bisa melakukan prapesan Pressure and Pleasure melalui Tokopedia. Untuk info lebih lanjut mengenai buku Pressure and Pleasure, sila mengunjungi laman resmi Museum MACAN, atau bisa menjangkaunya lewat @museummacan di Instagram.