Interest | Art & Culture

22 Oktober 1950: "Ahli Waris Kebudayaan Dunia" Terbitkan Surat Kepercayaan Gelanggang

Sabtu, 22 Oct 2022 18:05 WIB
22 Oktober 1950:
Foto: Wikimedia Commons
Jakarta -

Lima tahun setelah Indonesia merdeka, sekelompok seniman muda menerbitkan 'Surat Kepercayaan Gelanggang' di majalah Siasat, Edisi 22 Oktober 1950. Mengatasnamakan Gelanggang Seniman Merdeka, kelompok yang berisikan penulis dan pelukis ini menyatakan sikap mereka soal posisi perjuangan melalui karya di tanah air.

Gelanggang Seniman Merdeka sendiri diinisiasi oleh sastrawan Angkatan '45 (Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin), yang pernah menerbitkan preambul Gelanggang di akhir tahun 1946. Saat itu, mereka menggelorakan semangat yang mengkritisi karakter romantis Pujangga Baru, dan berusaha menggantikannya dengan kesadaran perjuangan kebudayaan   melalui upaya dan pemikiran individu merdeka, tanpa menghilangkan kekayaan kultural para pendahulu.

Sementara itu, saat Surat Kepercayaan Gelanggang terbit di tahun 1950, Chairil telah setahun meninggal dunia, sementara Asrul Sani dan Rivai Apin mengisi meja redaksi gelanggang di majalah Siasat. Namun begitu, Surat Kepercayaan Gelanggang justru diteken bersama banyak seniman lainnya. Seniman-seniman ini meliputi pelukis Mochtar Apin, Henk Ngantung, Baharuddin MS, dan Basuki Resobowo; juga penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Mochtar Lubis, dan Sitor Situmorang.

Lewat Surat Kepercayaan Gelanggang, mereka mencoba menggugat hubungan antara perjuangan kebudayaan dengan kekuasaan politik dalam negeri yang mulai mengalami polarisasi. Di sini, mereka turut berupaya melepaskan belenggu kuasa, yang memasung kreativitas seni.

Isi 'Surat Kepercayaan Gelanggang'
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat baru kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dan dilahirkan.

Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya ukuran nilai.

Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi dan tanah air kami belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu adalah manusia. Dalam cara mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Jakarta, 18 Februari 1950

***

Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan sebuah manifesto kebudayaan pertama setelah Indonesia merdeka. Naskah ini, juga menjadi salah satu bukti nyata eksistensi Angkatan '45 atau Angkatan Kemerdekaan, di kebudayaan Indonesia pascakolonial yang juga memberi dampak signifikan pada periodisasi sastra di tanah air.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS