Jika kamu penggemar serial TV terutama yang bergenre komedi, pastinya tak jarang mendengar suara tawa tambahan yang terselip beberapa kali di tengah-tengah acara. Biasanya, efek suara penonton yang tertawa disisipkan setelah terjadinya sesuatu yang mengocok perut, atau setelah suatu lelucon keluar dari mulut seorang karakter. Sebut saja beberapa tajuk sitkom ternama dari Barat seperti Mr. Bean, How I Met Your Mother, The Big Bang Theory, hingga sitkom lokal layak Bajaj Bajuri, Office Boy, dan lainnya. Namun, sebenarnya, apa tujuan di balik penambahan efek suara tersebut? Untuk menandakan waktu yang tepat untuk tertawa? Agar lelucon terasa lebih lucu dan menggelitik?
Taktik ini bukanlah suatu temuan baru. Nyatanya, penambahan sound effects seperti suara tertawa, sautan, teriakan, dan lainnya dalam sebuah acara serial TV telah dilakukan sejak tahun 1950-an. Sebelum TV diciptakan, orang-orang mendapatkan hiburan komedi secara langsung dari orang lain, sehingga muncul upaya dari produser televisi untuk membangun kembali atmosfer yang mirip dengan menambahkan suara reaksi penonton ke dalam program-program TV.
Di sini, laughter track berperan sebagai pelengkap, pemanis, juga metode agar para penontonnya dapat merasakan pengalaman menonton bak teater. Sehingga, dibanding sekadar hanya menatap layar televisi, penambahan efek suara ini diharapkan dapat membuat penonton merasa mereka berada di ruangan yang dipenuhi orang-orang yang juga terhibur dengan aksi yang ada di hadapan mereka.
Melansir Britannica, taktik yang telah dilangsungkan dalam dunia sitkom selama lebih dari 60 tahun ini berangkat dari ide sound engineer, Charles Douglass. Kala itu, Charles Douglass menawarkan solusi atas problema yang dikarenakan live audience yang tertawa di waktu yang tidak tepat dengan sebuah teknik editing bernama "sweetening." Suara tawa pre-recorded tersebut digunakan untuk menambahkan respons dari live audience yang berada di studio manakala mereka tidak bereaksi seperti yang diharapkan oleh produser. Jika sebuah candaan tidak mendapatkan respons yang didambakan, maka Charles Douglass akan senantiasa menambahkan laughter track. Sebaliknya, jika live audiences tertawa terlalu lama, maka suara itu akan diredam secara perlahan.
Meski terkesan artifisial, tidak natural, dan terkadang cringe, nyatanya laughter track yang diedit dengan benar dapat mendorong respons audiens yang lebih positif, ditunjukkan dari rating yang tinggi dan peningkatan retensi penonton.
(DIP/DIR)