Siapa yang pernah mengira, kalau jokes garing pun akan tetap digemari orang-orang? Bukti nyatanya adalah jokes ala bapak-bapak, yang meski dianggap renyah dan dangkal, tetap saja lestari dan terus ramai dipergunakan.
Di era varietas komedi yang tinggi seperti sekarang, candaan ala kaum bapak ini sendiri berada di tempat yang spesial. Maksudnya, walaupun gurauannya lebih bikin tepuk jidat ketimbang tertawa ngakak, rumusan ini justru bertebaran di mana-mana dan di berbagai situasi. Mulai dari WhatsApp Group kantor dan keluarga, obrolan di warung kopi pinggir jalan, hingga di jejaring maya yang terkenal progresif.
Sebut saja deretan jokes bapak-bapak yang rajin diproduksi Teuku Wisnu melalui akun @shireenwisnu17 di Twitter atau lewat akun @teukuwisnu di Instagram. Seperti, "Kenapa kalo naik motor itu pengen ketawa terus ya?? Apa karena duduk di atas jokes??" Atau, "Kadang kepikiran, kenapa ya aspal gapernah bisa punya akun Twitter? Oh ternyata, karena aspal selalu kena Ban".
Sepitas, dua bit lelucon milik suami Shireen Sungkar di atas memang cukup bernilai nyentrik dan jauh dari klasifikasi smart jokes-seperti yang diagungkan orang-orang zaman sekarang. Akan tetapi, pada titik tertentu, jokes-jokes 'enteng' yang diolah Teuku Wisnu tersebut tetap menjadi viral dan cukup menjadi bahan tertawaan.
Apalagi, Teuku Wisnu sendiri sebagai salah seorang pelaku jokes bapak-bapak, memiliki suatu pola konsisten pada setiap leluconnya yang sedikit garing, dan akhirnya cukup menggairahkan para followers untuk ikut menertawakan jokes bapak-bapak, yang sebelumnya dianggap remeh.
Sebenarnya, apa itu dad jokes?
Sejak ramai dibicarakan, dad jokes terus mengalami perkembangan dan pergeseran makna. Mulanya, dad jokes merupakan sindiran balik anak-anak terhadap gurauan basi ayah atau pria paruh baya lainnya. Namun semakin hari, dad jokes berkembang menjadi istilah negatif, dalam melabeli setiap candaan hambar yang terdengar.
Umumnya, dad jokes berupa materi lawakan yang mirip dengan lelucon asal buku kocak lawas yang sempat ramai beredar. Tipikalnya pun sederhana, seperti mengandung banyak plesetan dan permainan kata, yang cukup membuat dahi berkerut. Akan tetapi, guyonan ala bapak sebenarnya tumbuh di ruang yang cukup serius. Di mana lelucon yang lebih sering dianggap tidak lucu ini berangkat dari kebutuhan para bapak yang memerlukan output jenaka, sambil terus mengedepankan nilai-nilai kesopanan yang ramah semua umur. Upaya ini dilakukan oleh para ayah atau kelompok pria paruh baya, demi tetap terkoneksi dengan keluarga atau sekitarnya.
Oleh sebab itu, pada dasarnya jokes bapak-bapak sendiri bernilai lucu jika didengar oleh audiens yang tepat. Seperti bagi istrinya, mertua, dan lebih bertitik tumpu pada anak-anaknya. Maka tak mengherankan, jika dad jokes sangat memperhatikan tingkat keamanan konten pada lelucon di dalamnya. Seperti menyingkirkan unsur seksualitas hingga isu-isu sensitif lain, yang sialnya dipandang khalayak sebagai gurauan klasik yang membosankan.
Ilustrasi humor bapak-bapak/ Foto: PxHere |
Sedikit penjelasan lebih lanjut mengenai jokes bapak-bapak
Robert Pierce, seorang profesor psikologi asal Universitas Rochester New York menjelaskan bahwa, kejenakaan memiliki nilai yang dapat mendekatkan hubungan ayah dan anak. Penggunaan humor ini bahkan menjadi solusi efektif saat diterapkan Pierce kepada pasien-dengan anak-anaknya.
Di samping itu, Dr Pierce juga menyebut kalau segala jenis humor, sekalipun yang serenyah guyonan bapak-bapak, dapat menjadi pengurang rasa stres, sekaligus membantu memperbaiki keintiman antarmanusia. Meski beberapa pihak menuding jika dad jokes yang klise dipengaruhi oleh kadar testosteron pria yang menurun seiring usia bertambah, Dr Pierce justru menemukan jika ketumpulan lelucon kaum bapak-bapak, lebih disebabkan oleh menurunnya agresivitas.
Hal ini pun dipengaruhi oleh keinginan seorang pria paruh baya, yang ingin dikenal bijak dan bersahaja tapi masih asik diajak bercanda. Kemudian, tuduhan bahwa candaan bapak berada di ruang hambar juga ditolak Dr. Pierce. Menurutnya, dad jokes itu bernada aman, tanpa kemarahan, dan sederhana, agar bisa diterima oleh semua orang, termasuk anak kecil. Mungkin, hal ini pula yang mendasari mengapa gurauan Teuku Wisnu di media sosial tetap digandrungi banyak orang.
Intinya, segaring apapun kelakar bapak-bapak, sebenarnya masih ada manfaat yang bisa dirasakan selain tertawa untuk formalitas atau reaksi menepuk jidat. Paling tidak, guyonan-guyonan garing yang beredar tersebut, bisa membuka suatu percakapan menjadi lebih hangat. Atau dalam kasus Teuku Wisnu, konsisten dalam menyampaikan gurauan bapak akan membentuk simpul kelucuan baru yang apa adanya.
(RIA/DIR)