Interest | Art & Culture

Apa Jadinya Jika G30S PKI Tidak Pernah Terjadi?

Sabtu, 01 Oct 2022 18:00 WIB
Apa Jadinya Jika G30S PKI Tidak Pernah Terjadi?
Foto: Freepik
Jakarta -

Jika suatu peristiwa bersejarah tidak pernah terjadi, akankah kita masih hidup sama dengan hari ini? Misalnya, jika kamu tidak pernah ditipu oleh mantanmu, akankah kamu menjadi lebih santai dan berbahagia seperti sekarang? Atau, dalam konteks berbangsa; pernahkah kamu membayangkan, akan jadi apa kehidupan di negeri ini jika sejarah krusial di masa lampau tidak pernah terjadi?

Proklamator sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengungkap beberapa hal perkara sejarah. Pertama, Si Bung bilang, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri." Kemudian, beliau juga menegaskan 'Jas Merah', yang berisi anjuran kepada masyarakat, untuk: "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah".

Dua quotes Bung Karno barusan cukup popular, relevan dan bernilai bak mutiara. Namun sayangnya, pada alam kenyataan, gagasan-gagasan tersebut justru sukar diterapkan. Salah satunya, tentu, karena sejarah itu sendiri tidak pernah bernilai mutlak. Atau dengan kata lain, selalu ada subjektivitas yang kental di setiap narasi sejarah. Jika berbeda versi, maka akan berbeda pula sejarah yang disepakati.

Ditambah, terdapat pula sebuah adagium klasik, berbunyi: "Sejarah selalu ditulis oleh pemenang," sebagaimana yang pernah dinyatakan Churchill, Napoleon, hingga Dan Brown dalam The Da Vinci Code. Sampai di sini, yang saya ingin katakan adalah, meski kita sebagai anak bangsa diwajibkan mengenal sejarah dengan baik dan benar, agaknya mempelajari fakta sejarah secara objektif dan berimbang cukup mustahil dilakukan. Sebab, ironisnya, sejarah akan selalu bergantung pada sudut pandang.

Sebut saja, seperti kasus: pelanggaran HAM 1998; Peristiwa Malari 1974; hingga yang paling besar dan vital, Peristiwa G30S/PKI tahun 1965; yang masing-masing berada di ruangan 'abu-abu', alias tanpa kebenaran yang objektif, meski fakta demi fakta baru terus terkuak seiring berkembangnya zaman. Dalam hal ini, tulisan ini sendiri tidak sedang mencoba menggagalkan nilai-nilai sejarah yang sudah terlanjur tertulis. Lagian, buat apa pula? Tinta sejarah, khususnya yang ada di buku besar bangsa sudah terlanjur mengering di hati orang-orang yang menganggapnya sebagai kebenaran. .

Oleh karenanya, melalui tulisan ini, saya akan mencoba memanfaatkan satu-satunya hal yang-sepertinya-bisa lebih dieksplorasi dalam melihat sejarah bangsa. Yakni, dengan mengkhayalkan bahwa sejarah yang terjadi di masa lampau tidak pernah kejadian. Ya, walaupun pada kenyataannya hari ini tidak akan terasa berbeda, tampaknya, membayangkan apa jadinya jika sejarah tidak memiliki alur yang sama, sepertinya cukup menyenangkan karena menyimpan skenario-skenario baru yang lebih mengejutkan. Ya, kan?

Berhubung hari ini bertepatan dengan tanggal 30 September 2022, dan di hari yang sama sekitar 55 tahun silam terdapat peristiwa yang maha besar, maka, marilah kita berandai-andai bersama soal: Bagaimana jadinya, jika Peristiwa G30S/PKI tidak pernah benar-benar terjadi di Indonesia?

1. Tidak ada istilah G30S/PKI.

Yang pertama, dan paling utama, tentu 30 September akan menjadi akhir bulan yang bernilai biasa-biasa saja. Paling bagus, hari ini hanya akan diperingati sebagai hari hibernasi terakhir vokalis Green Day, Billie Joe, yang baru hendak bangun dari tidur panjang saat akhir September tiba.

2. Belum tentu ada 7 Presiden di Indonesia.

Jika saja pergolakan politik antara PKI dan TNI tidak pecah, maka bukan tidak mungkin, Bung Karno akan menjabat hingga akhir hayat, yaitu tahun 1970, sesuai ketetapan MPRS No. III/MPRS tahun 1963 tentang Pengangkatan Ir Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Ini juga berarti tidak ada Supersemar, dan Soeharto belum tentu menjabat sebagai Presiden Ke-2 RI selama 32 tahun. Dengan kata lain, total Presiden yang menjabat di Indonesia bisa lebih dari 7 orang-atau bahkan kurang?

3. Kemungkinan loh, ya! Partai Komunis Indonesia tidak bubarkan begitu saja.

Seperti ungkapannya, G30S PKI mengandung kata Partai Komunis Indonesia, yang waktu itu dibredel karena dianggap memiliki kepentingan politik yang bertentangan dengan nilai Pancasila. Padahal saat itu, PKI sedang kuat-kuatnya, terutama usai menang Pemilu 1957. Mereka pun memiliki posisi strategis di Pemerintahan Soekarno, dan memiliki simpatisan yang terbilang sangat banyak.

4. Tidak ada nama jalan Tujuh Pahlawan Revolusi (Tuparev) di berbagai daerah.

Apabila G30S tidak berlangsung, maka tidak akan ada 6 Jendral dan 1 Perwira TNI yang gugur antara 30 September - 1 Oktober 1965. Artinya, tidak akan ada gelar 7 Pahlawan Revolusi; dan tidak ada nama Jalan Tujuh Pahlawan Revolusi (Tuparev) di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, Gedung Trans TV yang ikonik, bisa saja bernama jalan lain dan bukan Jl, Kapten Tendean.

5. Film bermuatan Propaganda: Pengkhianatan G30S PKI tidak pernah dibuat.
Kalau G30S PKI urung terjadi, maka di Tahun 1984, Pusat Produksi Film Negara Departemen Penerangan mungkin akan merilis film patriot lainnya, dan bukan film "ngeri" berjudul Pengkhianatan G30S PKI. Ini juga berarti, film berdurasi sekitar empat setengah jam tersebut tidak terus-terusan diputar tanggal 30 September selama bertahun-tahun.

*Secara tidak langsung, hal ini juga berarti tiada lelucon: "Ngerokok mulu kayak PKI!" Atau, tiada gurauan yang berbunyi: "darrraaah itu merrraaahhhh jendrallllllllll"

6. Hak hidup dan hak politik masyarakat tidak bakal terenggut.
Setelah G30S PKI terjadi, tidak sedikit penduduk Indonesia yang memiliki label Eks Tapol (ET) di Kartu Tanda Pengenal (KTP) mereka. Kemudian, bisa jadi TAP MPRS tahun 1966, juga tidak akan memantik aturan pelarangan PKI sebagai syarat capres UU Pemilu No.7 2017 Pasal 169 (s).

7. Naskah dan buku yang dituduh "Kiri" tidak diberangus, apalagi dibakar.
Berlandaskan TAP MPRS tahun 1966, segala materi mengenai Komunisme, Marxisme-Leninisme, dan segala yang dituduh terkoneksi dengan PKI dicekal mentah-mentah, bahkan hingga ranah pendidikan. Padahal materi ini punya pengaruh yang signifikan dalam pemikiran modern. Lebih jauh lagi, sepertinya Iqbaal tidak akan memerankan Minke di film Bumi Manusia. Sebab, jika saja Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan bagian dari LEKRA di masa itu tidak pernah dituduh terafiliasi dengan PKI, maka pengasingan tanpa pernah diadilinya ke Pulau Buru, tidak akan berbuah Tetralogi Buru, yang rangkaiannya memuat novel Bumi Manusia.

8. Tembang Genjer-Genjer dan sayur Genjer tidak haram; Jason Ranti tidak menciptakan Bahaya Komunis; Rispo tidak dijanjikan kakeknya (adik D.N. Aidit) motor Mio; dan, Thomas Nawilis yang memerankan tokoh Han (sahabat karib Soe Hok Gie) dalam film Gie, akan beradu peran lebih lama dengan Nicholas Saputra yang memainkan peran utama.

9.Terakhir, dan yang paling pasti, tulisan penuh andai-andai ini, tidak akan pernah dituliskan.

Itulah sembilan dugaan-seperti nominal bulan September dalam kalender tahunan-yang saya pikir, akan berbeda di masa ini, jika saja Peristiwa G30S PKI yang abu-abu itu tidak pernah pecah di masa lampau. O ya, satu lagi, mungkin   mungkin loh, ya!   ideologi anti-komunisme tidak akan menjadi alat kampanye yang efektif di zaman sekarang, dan perpaduan palu & arit hanya akan dianggap perkakas biasa saja.

Intinya, apapun kemungkinan yang ada soal sejarah tanggal 30 September 55 tahun silam, ada satu hal yang paling pasti terjadi. Yaitu, keesokan harinya, tanggal 1 Oktober tetap terjadi. Tanggal yang akan selalu ditunggu-tunggu setiap pekerja, yang rekeningnya sudah terkuras sejak tengah bulan silam.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS