Mas Pram pernah bilang, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah." Atau quotes populernya di Instagram bilang, "Menulislah, maka engkau akan abadi."
Sebenarnya, dua pernyataan barusan cukup mengandung ironi. Sebab di zaman ini, nama Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang abadi di mata sastra dunia, cenderung asing dikenali orang Indonesia pada zaman sekarang, jika saja Iqbaal yang pernah memerankan Dilan itu tidak memainkan sosok Minke di dalam film Bumi Manusia, yang aslinya diadopsi dari Tetralogi Buru milik Pram.
Situasi ini memang memilukan. Tapi, apa boleh buat? Pola konsumsi masyarakat telah jauh berubah. Walhasil, mencari relevansi antara tulisan dengan keabadian di zaman sekarang menjadi sulit untuk diperbincangkan. Terlebih lagi, di era yang serba digital ini, teks-teks yang hanya mengandalkan kata-kata, satu per satu dialihwahanakan ke bentuk audio-visual. Maklum, segala konten terkini dituntut tersaji dengan ringkas dan padat, meski tetap wajib bisa dikunyah secara lunak.
Oleh karena itu, sekalipun ada orang yang pandai setinggi langit di masa lalu, atau paling tidak, cemerlang menyusun kata seperti Pram, jika kegemilangannya tidak dituangkan ke dalam karya audio-visual, maka akan sangat tinggi presentasenya jika orang tersebut berjarak jauh dari keabadian.
Rasa-rasanya, mungkin, itulah pertimbangan utama FIFA yang belum lama ini mengabadikan kisah 5 orang pandai sepak bola Tanah Air, ke dalam karya dokumenter bertema "Sons of Football". Selaku Federasi Sepak Bola Dunia, kebijakan FIFA tersebut cukuplah bijak. Maksudnya, selain Indonesia adalah pasar sepak bola yang menarik, menyajikan karya audio-visual kepada publik fanatik adalah visi yang brilian.
Sebagai penggemar sepak bola Indonesia, saya sendiri mengapresiasi langkah FIFA ini. Sebab, jika sebatas mengandalkan publikasi berbasis tulisan semata, boleh jadi 5 nama legenda besar sepak bola nasional akan bernasib sama dengan Pram. Lagian kita semua sama tahu, di negeri ini, publikasi hingga pengarsipan tulis-menulis sama carut-marutnya dengan iklim persepakbolaan. Ya, walaupun keduanya masih digandrungi secara militan, tetap saja, langkah FIFA ini patut diberi tepuk tangan.
Apalagi, tanpa mengurangi rasa hormat kepada 5 sosok legenda tersebut, sepak bola negeri ini sangat jauh dari kata bergelimang prestasi. Makanya, saya sendiri berdecak kagum saat tahu FIFA mau repot-repot membingkai legenda sepak bola kita yang mungkin asing dari radar perhatian pejabat federasi sepak bola sekarang, ke dalam film dokumenter yang isinya "daging semua".
Pada seri dokumenter FIFA, masyarakat penggila bola nasional seperti diajak kembali ke masa jaya 5 pemain hebat yang pernah menerbangkan asa panji-panji Garuda ke dunia. Film seri dokumenter FIFA ini memang mengisahkan perjalanan individu penggawa Garuda. Sebab faktanya, meskipun pahit, Timnas Sepak Bola Indonesia secara kolektif belum pernah menuliskan prestasi yang gemilang, seperti halnya memenangkan major trophy.
Walaupun seperti itu, paling tidak, kita jadi bisa kembali mengingat-atau malah, mulai bisa mengingat-kisah kehebatan beberapa pemain legenda Timnas. Seperti halnya cerita Soetjipto 'Gareng' Soentoro, pemilik rekor pencetak gol terbanyak Timnas sepanjang sejarah, sekaligus pelatih Timnas pertama yang membawa Indonesia ke panggung Piala Dunia U-20 meski kandas digagahi Maradona.
Ada pula perjalanan karir penyerang fenomenal Ricky Yakobi, superstar era 80-an yang pernah berkarir di Jepang dan cukup "vokal" pada zamannya; cerita seorang Andi Ramang, pesepakbola berbakat asal Makassar yang tangguh karena besar di jalanan; hingga sosok Herry Kiswanto, libero tangguh yang terkenal lugas dan bersih.
Di seri ini pula, FIFA mencantumkan perjalanan Kakak Boaz 'Bochi' Solossa, mutiara sepak bola asal tanah Papua yang konsisten sampai sekarang dan sukses muncul sebagai inspirator sepak bola di bagian timur Indonesia. Kisah selengkapnya lima legenda tersebut, bisa disaksikan di sini.
Menyandingkan sepak bola dengan keabadian, memanglah cukup tepat. Buktinya, lima legenda sepak bola Indonesia telah diabadikan FIFA dalam film, sementara iklim sepak bola kita justru abadi dalam kemunduran di badannya sendiri. Pada akhirnya, semoga kisah para legenda sepak bola tersebut, bisa benar-benar mengedukasi dan menginspirasi masyarakat, sehingga tidak hanya menguntungkan FIFA sebagai pembuat, namun juga menguntungkan nasib gemilang Timnas di masa datang.
(DIR)