Bagi anak Gen Z dan milenial, istilah Jaksel atau Jakarta Selatan memang sudah sangat familiar di telinga mereka. Bahkan, tidak heran lagi apabila kini istilah 'anak Jaksel' sudah bukan lagi perihal geografis atau sekedar daerah tempat tinggal. Namun, Jaksel kini sudah menjadi sebuah kultur di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki mentality dan cara berpikir yang sama. Jaksel culture juga meliputi bagaimana cara mereka berpakaian, berbicara dan bagaimana mereka menjalani kehidupannya.
Secara geografis, Jakarta Selatan memang secara umum ditempati oleh orang-orang yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke atas karena faktor harga properti yang tinggi. Sehingga banyak penduduknya-termasuk anak-anak muda memiliki cara pemikiran dan kemampuan berbahasa yang mumpuni. Mengingat mereka memiliki privilese untuk mengakses dan mempelajari budaya barat dari institusi-institusi bertaraf internasional, yang pastinya hanya dapat dimiliki oleh golongan atas. Walhasil, tak heran apabila pemahaman 'anak Jaksel' yang selalu mencampur-campur Bahasa Indonesia dan Inggris sudah menjadi salah satu dari stereotipnya.
Ilustrasi anak Jaksel/ Foto: Freepik |
Tidak hanya itu, karena hal ini mereka juga memiliki cara pandang yang berbeda menyoal kehidupan sosial di sekitar mereka. Secara mudahnya, masyarakat Jaksel, terutama anak mudanya memiliki kecenderungan untuk sangat open-minded, di mana pemahaman mengenai society issue yang mencakup perihal LGBTQ+, mental health, climate change dan yang lainnya sudah menjadi hal yang lumrah dan dipedulikan di kalangan mereka. Berbeda dengan masyarakat yang tidak terekspos dengan pengetahuan mengenai isu-isu penting ini, anak-anak Jaksel lebih berani dalam menyuarakan dan mengeluarkan aspirasinya.
Stereotip-stereotip seputar 'anak Jaksel' memang sudah mengakar pada setiap orang, baik itu anak-anak muda yang tinggal di Jaksel sendiri ataupun anak-anak muda yang tidak tinggal wilayah tersebut. Layaknya, Safira yang mengetahui betul perihal fenomena 'anak Jaksel' walaupun bukan warga Jakarta Selatan melainkan Cirebon. Ketika ditanyakan mengenai 'anak Jaksel', Safira menjawab "Menurut gue fenomena Jakselians ini tuh emang ramai banget karena selalu dapat eksposure dari media-media. Gue sendiri secara pribadi yang bukan anak Jaksel dan cuman tahu tentang hal ini lewat media sosial ngeliat anak Jaksel tuh ya emang stereotipenya begitu, kalo ngomong suka dicampur-campur terus kayaknya biayanya mahal deh jadi anak Jaksel karena suka party-party gitu."
Ilustrasi anak Jaksel/ Foto: Freepik |
Meskipun tidak selamanya di mata orang-orang awam perihal kultur Jaksel ini selalu positif karena budayanya yang mengarah ke budaya barat, ada pula pembelaan dari anak Jakarta Selatan asli yang sudah lama tinggal di daerah tersebut dan mengikuti banyak perubahan budaya Jakarta Selatan atau dapat dikatakan budaya anak-anak Jaksel. Melodya, selaku anak Jaksel asli mengatakan, "Kalau dulu party-party ala anak Jaksel tuh lebih indie dan ada spot-spot tersendiri untuk hangout. Kalau sekarang kan orang-orang sering nyari live band gitu, ya, kalau dulu sih hal kayak gini justru malah buat orang tua. Tapi bagusnya dengan semua orang banyak yang mulai suka live band sambil hangout dan gak cuman sekadar clubbing gitu jadi lebih tahu lagu-lagu lokal, sih."
Terlepas dari stereotip positif atau negatif perihal 'anak Jaksel', eksposur yang didapatkan dari budaya Jaksel ini kian membuatnya merambat ke beberapa daerah di sekelilingnya. Sehingga, daerah Jakarta Selatan yang dulunya hanya merupakan daerah yang dianggap elit kini menjadi sebuah melting pot di mana banyak orang-orang yang bukan warga Jakarta Selatan asli ikut menikmati budaya dan kebiasaan 'anak Jaksel' yang ramai diperbincangkan.
Positifnya, anak-anak muda yang sering terekspos dengan budaya 'anak Jaksel' sekarang menjadi ikut terpengaruh. Salah satu contohnya adalah gaya berbahasa, di mana cara mereka berbicara dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu konteks menjadi suatu hal yang dinormalisasi. Lagipula, hal ini merupakan hal positif yang membuat setiap orang memiliki kemampuan berbahasa yang meningkat. Selain itu, banyak juga hal-hal positif yang didapatkan dari budaya Jaksel ini karena mereka yang terpengaruh juga menjadi lebih memiliki pemikiran yang luas dan lebih mudah menerima perbedaan.
(DIP/DIR)