Ibu Pertiwi bersenandung dalam lirih. Air di matanya terlihat berlinang, perangainya tampak dirundung lara. Sambil merintih dan bertanya: ke mana anak-anaknya? Pertiwi berdoa. Benar-benar berdoa.
Paragraf di atas, bukanlah kepanjangan dari lagu berjudul Ibu Pertiwi, yang entah aslinya ditulis Ismail Marzuki atau Kamsidi Kamsudin, yang iramanya disebut "kembar" dengan lagu What A Friend We Have in Jesus dari tahun 1800-an akhir. Melainkan, itu adalah adegan awal dari pementasan teater berjudul WaliRaja RajaWali, yang dipertontonkan secara khidmat kepada ribuan masyarakat di hajat Kenduri Cinta, yang berlangsung di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Sabtu (13/8).
Pentas teater ini sendiri dipersembahkan oleh Teater Perdikan, Progress Management, Gamelan Kiai Kanjeng, dan berdasarkan naskah garapan Budayawan Emha Ainun Najib, atau yang akrab disapa Cak Nun, serta disutradarai langsung oleh seniman teater kawakan Jujuk Prabowo. WaliRaja RajaWali juga melibatkan sejumlah penggiat teater senior di Tanah Air seperti, Sitoresmi Prabuningrat (Ibu Pertiwi), Joko Kamto (Maulana Iradat), Eko Winardi (Pak Rajek), Nevi Budianto (Eyang Sabdo), Puji Widodo (Eyang Noyo), Margono (Wali Anom) dan masih banyak lainnya.
Mulanya, pentas teater pada Kenduri Cinta (13/8) tersebut akan menampilkan naskah teater Mlungsungi, yang juga disusun oleh Cak Nun dan telah dipentaskan lebih dulu di Yogyakarta dan Jombang. Namun, karena terdapat beberapa keterbatasan, terutama kendala biaya sebab pentas ini disajikan secara kolosal, terbuka dan tanpa dipungut biaya, maka penyelenggara bersama Cak Nun merumuskan teater WaliRaja RajaWali, yang sukses dipentaskan secara megah kepada ribuan pasang mata di TIM, Sabtu malam (13/8) lalu.
Sekilas tentang 'WaliRaja RajaWali'
Pertunjukan teater WaliRaja RajaWali berdurasi sekitar 90 menit. Karya susunan Cak Nun ini menceritakan tentang keadaan wilayah Nusantara-atau saat ini disebut Indonesia melalui personifikasi sosok Ibu Pertiwi, yang dibimbing oleh sosok supranatural seperti Kanjeng Maulana Iradat, hingga karakter lain yang dicomot dari serat budaya Jawa, seperti Eyang Sabdo, Eyang Noyo, dan Wali Anom Kalijogo.
Di samping itu, dikisahkan pula dinamika yang tengah dialami anak-cucu Pertiwi yang tinggal di sebuah kampung dengan nomor RT.17, RW.8, di Jalan Sembilan Belas No.45, menjelang masa penuh kebingungan dua tahun mendatang. Lakonnya dialurkan melalui sosok sesepuh bernama Pak Rajek dan 6 orang rakyat kontemplatif yang rajin bertanya dan mendebat. Ada pula peran Mas Mambang, rekan Rajek yang menawarkan gagasan progresif tepat guna kepada rakyat.
Teater WaliRaja RajaWali/ Foto: Riz Affrialdi - CXO Media |
Dalam pentas WaliRaja RajaWali, babak-babak yang disebutkan di atas berjalan dalam satu tarikan benang merah. Pada pangkalnya, lakon teater ini menjabarkan permasalahan yang ada dan memberikan petuah solusi nan bijak, yang diturunkan langsung oleh Kanjeng Maulana Iradat kepada anak-anak Nusantara berbentuk dawuh; usai anak-cucu Nusantara tergabung ke gerakan progresif asuhan Rajek dan Mambang, yang membuat mereka lebih melek politik, sehingga mampu bersikap cerdik dalam situasi membingungkan di masa datang.
Kurang lebih, dawuh itu sendiri meliputi rasa tegar dan gembira yang menjadi kekuatan anak Nusantara, yang wajib lebih disadari bersama-sama kendati selama ini kerap ditindas dan dianiaya para pemangku kuasa lalim, yang ternyata bergerak dalam pengaruh buruk para perusak dunia. Melalui bimbingan Maulana Iradat, anak Nusantara diingatkan kembali tentang jati dirinya yang hakiki: manusia tangguh calon pemimpin dunia, meski selama ini digocek oleh rekayasa sejarah prematur, yang ditunggangi oleh tangan-tangan kotor dari luar. Sementara penekanan WaliRaja dan RajaWali, lebih menyiratkan suatu arahan bagi anak Nusantara dalam memilih pemimpin, yang akan membimbing mereka ke masa terang.
Maulana Iradat juga meyakini anak-cucu Nusantara bahwa pemimpin yang mereka butuhkan adalah sosok WaliRaja, sang "satrio pinandito sinisihan wahyu", sosok ksatria pemberani, begawan, negarawan pro rakyat, yang manunggal dan bertaqwa di jalan kasihNya. Bukan sosok berperangai RajaWali, yang selama ini digadangkan sebagai leluhur Nusantara, sebab burung predator yang dituangkan lewat mitologi Garuda tersebut justru bertabiat sebagai pemangsa rakyatnya sendiri, dan konon telah mendapat banyak campur tangan kotor yang sengaja mengaburkan jati diri sejati rakyat Nusantara.
Pentas Teater dan Budaya Kasih Sayang Rakyat
Dalam epilog, Mbah Nun memaparkan bahwa Kenduri Cinta dan pentas teater WaliRaja RajaWali bermula dari gerakan kolektif bersifat sukarela, yang disodorkan para penggiat kesenian kepada sesama rakyat, baik sebagai hiburan atau "pelajaran tambahan" yang sulit didapatkan dari kanal mainstream lainnya, tidak terkecuali oleh organisasi-organisasi politik praktis.
Secara keseluruhan, WaliRaja RajaWali sendiri mencoba menguliti kesalahan kompleks yang mengakar di Nusantara. Menariknya, Cak Nun sebagai penyusun naskah, membuktikan kepandaiannya dalam memadu-padankan lakon bersudut pandang sejarah yang sulit ditemukan di buku-buku umum apalagi yang tercetak dalam buku pelajaran di sekolah dengan ringan, kekinian, dan berlandaskan atas rasa kasih sayang, tanpa mengurangi esensinya..
Oleh karena itu, tak heran jika nuansa khusyu berhasil tersaji secara apik lewat lakon yang Pertiwi dan Maulana Iradat mainkan, sebagai tokoh personifikasi "penjaga" Bumi Nusantara yang membimbing rakyat kebingungan, khususnya lewat sudut pandang spiritualitas berlandas cinta kasihNya, sang Yang Maha Berkehendak. Hal ini juga kian terasa spesial, sebab pentas teater bukanlah suguhan umum yang banyak diproduksi dan dinikmati di zaman ini, yang cenderung tergantung dengan konten-konten digital di media sosial.
Kenduri Cinta, Sabtu (13/8), di Taman Ismail Marzuki, Jakarta./ Foto: Fahmi Agustian |
Sementara lain, rangkaian teater kali ini memanfaatkan hajat Kenduri Cinta, yakni sebuah pagelaran sosial-budaya asuhan Emha Ainun Najib, yang rutin digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sejak 22 tahun silam; secara independen dan terbuka untuk umum. Pada pelaksanaanya, banyak sekali seniman atau tokoh publik yang sudah terlibat. Seperti sosok Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Jancukers alias Sujiwo Tejo, Noe 'Letto' atau Sabrang yang juga anak dari Cak Nun, hingga seorang Habib Ja'far.
Kenduri Cinta turut berfungsi sebagai wahana berkumpul dan berekspresi masyarakat akar rumput, terutama dalam membahas topik-topik yang berkembang melalui sudut pandang sosial-budaya, politik, hingga spiritual, yang bermanfaat sebagai bekal berpikir kritis untuk berbagai lapisan masyarakat yang disebut jamaah Maiyah, terutama dalam mengarungi kehidupan di arus modern yang tidak jarang membingungkan.
Pada Kenduri Cinta, Sabtu (13/8) lalu, hadir pula Dr. Ishadi SK, salah satu tokoh sentral pertelevisian yang memberi sambutan sebelum teater dimulai; juga sosok Jose Rizal Manua, pujangga sekaligus salah satu penggiat teater Nasional, yang membawakan beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri di penghujung acara. Selengkapnya mengenai Kenduri Cinta dan Teater WaliRaja RajaWali dapat diakses melalui laman caknun.com.
(RIA/HAL)