Terkadang menjadi orang Indonesia begitu seru dan menyenangkan. Terutama saat nama "Indonesia" atau segala hal yang berbau Indonesia, disebut-sebut oleh warga negara lain. Jika bernada positif, maka sambutan ramah ala warga lokal akan beredar. Namun jika berkonotasi negatif, maka dalam sekejap netizen +62 akan menyerbu, menerjang, dan melakukan pembelaan dalam barisan solidaritas maya.
Hal yang terakhir disebut, baru saja terjadi belakangan. Yakni, ketika Senator Australia Pauline Hanson mengungkap kalau Bali memiliki perbedaan kentara dengan 'negara' lain khususnya soal higienitas, di mana banyak sekali kotoran sapi yang bertebaran, dan ujuk-ujuk terbawa kembali oleh para turis ke Australia sebagai penyakit.
Dalam waktu singkat, pernyataan kontroversial tersebut berbuah gempuran bertubi-tubi netizen kepada sang senator. Sebab bisa dibilang, pernyataan tersebut mengandung sejumlah kesalahan mendasar. Yang pertama, Bali bukanlah sebuah negara, melainkan salah satu pulau atau provinsi dari Indonesia. Yang kedua, menuduh Bali sebagai sumber penyakit dalam hal ini Penyakit Mulut dan Kuku pada Sapi, adalah pernyataan liar yang tidak berdasar, juga tidak bertanggung jawab.
Apalagi faktanya, Bali sendiri terus dipilih banyak warga Australia untuk berlibur, terlepas dari sejumlah kelakuan ngeyel warga Negeri Kangguru di Pulau Dewata. Sebaliknya, Bali yang notabenenya adalah lokasi wisata berbasis alam dan budaya, justru selalu ramah dan welcome terhadap turis-turis asing yang sering kali abai akan nilai-nilai kultural di Bali.
Bali/ Foto: Freepik |
Ocehan Pauline dan Miskonsepsi Bali sebagai Negara
Pada kesempatan kali ini, pernyataan kontroversial ala Pauline Hanson, sang senator bermulut kotor, tidak akan ditanggapi secara lebih serius. Sebab pejabat-pejabat Indonesia yang berkepentingan telah menanggapinya secara lebih bijak. Oleh karena itu, kesalahan fatal Pauline yang menyebut Bali sebagai suatu negara akan lebih menjadi sorotan. Pasalnya, selama ini, Bali memang lebih sering dianggap segelintir warga dunia sebagai sebuah negara. Kendati faktanya, Bali adalah salah satu kawasan pariwisata yang diandalkan serta mengharumkan Indonesia.
Ternyata, hal ini bermula lewat serangkaian sejarah, di mana nama Bali lebih dulu dikenal dunia sejak era Kolonial Belanda, yang gencar mempromosikan Bali sebagai Pulau Surga untuk liburan eksotis dengan keapikan budaya, dan mulai menyebut Bali sebagai "Masa Keemasan Pariwisata" (Golden Age of Travel); sementara Indonesia sendiri, baru mulai naik ke permukaan usai merdeka di tahun 1945.
Di samping itu, sejumlah karya seniman mancanegara turut mengharumkan pesona Bali di mata dunia, sebagai tempat wisata yang menyajikan ketenangan. Hal ini bisa dilihat dari deretan karya-karya Miguel Covarrubias, Vicki Baum, seniman legendaris Belanda Rudolf Bonnet, hingga catatan milik Rabindranath Tagore, juga istilah PM India saat itu, Jawaharlal Nehru, yang mendapuk Bali dengan julukan "Fajar Dunia".
Citra Bali yang seperti terpisah dari Indonesia juga muncul melalui film asal Amerika Serikat berjudul South Pacific (1958) yang mengisahkan deretan kisah klise kehidupan di pulau-pulau selatan bumi, yang digambarkan sebagai kepulauan fiktif bernama "Bali Ha'i". Belum lagi cerita perjalanan Julia Roberts dalam Eat Pray Love (2010), yang mencantumkan Bali sebagai salah satu destinasinya. Hal-hal tersebut juga terdukung oleh strategi pariwisata di era Orde Baru, yang memusatkan Bali sebagai wilayah khusus pariwisata Indonesia paling utama.
Bali/ Foto: Pexels |
Serangkaian hal di atas nyatanya membuat warga Indonesia bangga karena Bali begitu dikenal dunia. Sialnya, hal ini justru menjadi pisau bermata dua, terlebih ketika Bali malah lebih populer dari Indonesia sendiri, dan muncul banyak anggapan bahwa Indonesia dengan Ibukota Jakarta, tidak mencakup Bali. Salah satu alasannya, mungkin disebabkan oleh kultur Bali yang kental dengan nuansa Hindu, sementara di bagian lain Indonesia, hal semacam ini agak jarang ditemukan.
Meski pelik, sebenarnya fenomena ini tidak melulu merugikan. Sebab pada pangkalnya, setiap turis yang datang ke Bali turut menyadari kalau Pulau Dewata adalah bagian dari Indonesia yang memiliki deretan kepulauan cantik dan budaya yang eksotik. Ironisnya, hal ini justru kurang dipahami oleh segelintir bangsa Barat, yang mengoleksi nilai merah pada mata pelajaran geografi, seperti Pauline Hanson yang kebetulan menjadi tokoh politik di Australia, beserta segenap remaja Barat minim pengetahuan geografis yang sempat ramai di TikTok.
Terlepas dari rangkaian fenomena di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang perlu kita sadari bersama: Kesalahan orang luar menyebut Bali bukan bagian dari Indonesia, nyatanya adalah kebodohan mereka sendiri dan tidak perlu dipusingkan. Sebab nyatanya, Indonesia dan Bali, tidak serta-merta kehilangan martabat jika memang kurang dikenal secara baik oleh orang Barat.
Bali/ Foto: Freepik |
Di sisi lain, dan yang tampaknya lebih patut untuk kita perjuangkan bersama adalah, bagaimana cara menjaga kekayaan Indonesia dan Bali itu sendiri, agar segala keindahannya tidak dirampok oleh bangsa asing, atau diringkus habis oleh cukong-cukong dalam negeri yang membredel keistimewaan Indonesia-termasuk Bali-demi kekayaan diri sendiri. Seperti misalnya, isu reklamasi di Bali yang merugikan, wacana proyek gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) di hutan mangrove, sampai eksklusivitas kawasan tertentu di pantai-pantai Bali, yang dimonetisasi habis-habisan oleh pengusaha besar dan meminggirkan hak rakyat atas ruang alam bersama.
Anehnya, situasi yang sama menyebalkannya ini, justru tidak pernah mendapat serbuan netizen, sebagaimana gempuran hebat yang dilancarkan saat Indonesia dibawa-bawa oleh orang asing. Padahal kata Bung Karno, pertempuran utama generasi ini adalah melawan bangsa sendiri yang bermental penjajah dan bukan sibuk memusingkan opini orang asing.
(RIA/DIR)