Fenomena 'Citayam Fashion Week', 'Citayam Fashion Show', hingga SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) terus menggaung di layar media. Hal ini semakin langgeng ketika banyak influencer, selebritis, hingga tokoh-tokoh politis menyorotinya secara khusus, dan terus meromantisir aktivitas remaja suburban yang berlenggak-lenggok di jantung kota Metropolitan.
Tak pelak, tren yang bermula dari TikTok ini terus menarik simpati meski masih diperdebatkan; terutama soal bagaimana menyikapinya dengan lebih bijak dan pantas. Sebab nyatanya, aksi viral Bonge, Jeje Slebew dkk. memang bukan cuma mengandung nilai komersial semata. Namun juga memantik potensi munculnya subkultur di ruang gemerlap Jakarta yang selama ini didominasi lifestyle metropolis khas menengah atas.
Betapa tidak? Terhitung dari gaya fesyen yang unik, pilihan musik yang cukup eksentrik, hingga kebiasaan nongkrong yang irit, gejala-gejala atau kebiasaan yang ditimbulkan para remaja asal kota penyangga Jakarta tersebut memang menawarkan opsi berbeda dari budaya hedonis, tepat pada jantungnya: sekitaran Sudirman Dukuh Atas. Tak bisa dilupakan, adanya zebra cross catwalk yang viral, turut mendapuk Citayam Fashion Show sebagai subkultur yang potensial.
Dengan kata lain, Citayam Fashion Week pada esensinya mampu menggerakkan poros subkultur baru bagi kota Jakarta, yang selama ini dibayang-bayangi ide materialisme dan kemapanan yang menjalar hingga ke jalanan. Atau kasarnya, Citayam Fashion Week bukan cuma catwalk di zebra cross viral yang ditumpangi kepentingan konten kreator, selebritis, tokoh politis, hingga jenama kenamaan, namun turut menyentuh pergerakan sosial dan budaya masyarakat.
Oleh karena itu, fenomena Citayam Fashion Week ini perlu ditanggapi secara lebih optimis dan positif, mengingat subkultur yang timbul dari Citayam Fashion Show atau fenomena SCBD dapat berkembang menjadi sempalan unik yang mengiringi budaya induk. Tentu saja, tanpa mengurangi esensi kreativitas di ruang publik, keterbukaan akses terhadap semua kelas, penciptaan peluang baru di industri kreatif berorientasi laba, hingga pengentas ketimpangan kelas sosial yang selama ini sulit dipisahkan dari kehidupan metropolitan.
Akses transportasi & ruang inklusif sebagai poros subkultur
Melalui banyak pengakuan di berbagai media, remaja-remaja suburban yang mejeng di kawasan Stasiun Sudirman hingga Dukuh Atas datang menggunakan transportasi publik. Kawasan ini sendiri memang dikembangkan sebagai penunjang sistem transportasi terintegrasi; seperti MRT Jakarta, TransJakarta, KRL Commuter Line, dan sebagainya, yang pada akhirnya menarik perhatian remaja suburban ke kawasan tersebut.
Artinya, niat menyediakan ruang berekspresi bagi publik oleh Pemerintah Jakarta, termanfaatkan secara baik oleh siapapun tanpa pandang bulu, khususnya oleh pemuda pemudi suburban yang menghidupi kawasan Sudirman Dukuh Atas. Secara tidak langsung, hal ini juga membuktikan bahwa akses transportasi yang baik dapat membuka ruang inklusif, di mana warga suburban turut dapat menikmati keindahan kota.
Apalagi, dengan adanya tata pedestrian yang cantik, seperti lebarnya trotoar, spot terowongan penuh mural, hingga latar pencakar langit yang ada di sekitaran, semuanya cukup menunjang kebutuhan konten media sosial masyarakat mulai dari remaja pinggiran hingga Jakartans itu sendiri. Maka dapat dikatakan pula, kombinasi transportasi yang baik dengan lahan inklusif, sanggup menumbuhkan ruang baru yang menampung kreativitas publik, dan menyalurkan ekspresi alternatif yang perlahan-perlahan merobohkan pongahnya eksklusivitas metropolis.
Buktinya, sebelum model-model media sosial berjalan kucing di atas zebra cross, Jeje dan kolega lebih dulu mempelopori gerakan sempalan yang menyegarkan, kendati di awal menjadi bahan olokan oleh tidak sedikit netizen di media sosial. Singkatnya, Citayam Fashion Show yang digawangi muda-mudi suburban di Sudirman, memulai aktivitas subkultur baru yang sangat mungkin berkembang mengingat sampai hari ini, kawasan pedestrian Sudirman-Dukuh Atas belum sepi pengunjung, meski belum dapat dipastikan seberapa lama akan bertahan.
Kesahihan Subkultur 'Citayam' sebagai Pemula Jakarta Street Life
Jakarta memang tidak pernah sepi dengan tren sosial. Sebelum 'Citayam' heboh di Sudirman, Kawasan Bakal Lokasi Mejeng atau Blok-M telah lebih dulu dikenal sebagai pusat aktivitas masyarakat muda. Uniknya, dua tren tempat nongkrong barusan memiliki sebuah kesamaan. Yaitu sama-sama berlokasi di kawasan transportasi terpadu.
Lebih dari itu, Blok-M masih terus eksis hingga sekarang, sebagai salah satu lokasi utama pergaulan masyarakat urban khususnya dengan kehadiran kawasan M-Bloc baru-baru ini. Sementara itu, di luar negeri kemunculan subkultur di ruang vital kota besar juga banyak ditemukan. Contohnya adalah kemunculan scene Harajuku di Jepang atau kehadiran budaya Hip Hop di New York, Amerika Serikat.
Menariknya, kemunculan Harajuku serupa dengan tren 'Citayam' di Sudirman-Dukuh Atas, yang bermula dari kebiasaan berkumpul muda-mudi komuter Tokyo di sekitaran stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, yang pada akhirnya mampu berkembang dominan dan berkontribusi pada gaya fesyen masyarakat dunia di awal 2000an.
Sementara itu, sebagaimana pergerakan 'Citayam', kemunculan Hip Hop di jalanan New York medio 70-80an lalu turut dipandang sebelah mata. Misalnya dianggap meresahkan, 'menyampah', dan lain sebagainya. Walaupun demikian, seni yang tumbuh di jalanan tersebut akhirnya tumbuh menjadi gaya arus utama pemuda Amerika era 90-an yang naik kelas menjadi budaya populer yang dominan di segala aspek, baik itu fesyen, musik, karya seni, dan lain-lain.
Terlepas dari kisah mulus para pendahulu, bukan berarti 'Subkultur Citayam' sendiri dapat bertumbuh subur layaknya Harajuku atau Hip Hop. Sebab keduanya telah melewati tempaan zaman, sedangkan viralnya Citayam masih belum lepas dari anggapan ketenaran sesaat yang terlanjur dieksploitasi secara berlebihan.
Meski demikian, nyatanya 'Subkultur Citayam' turut menyelipkan pula peluang untuk berkembang pesat di masyarakat pada masa yang akan datang. Bahkan lebih muluknya, gerakan ini dapat mempelopori ruang-ruang baru di wilayah kota lainnya, yang saat ini tengah berbenah mempercantik diri agar menjadi perhatian masyarakat secara luas.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin 'Subkultur Citayam' akan bertahan di masa datang, mengingat aktivitasnya turut menciptakan kebebasan baru bagi warga secara luas, tanpa tedeng aling-aling kelas sosial. Lebih dari itu, 'Subkultur Citayam' juga dapat membuka jalan bagi budaya jalan kaki yang selama ini menjadi mitos di Jakarta dan Indonesia.
Atau lebih jauh lagi, munculnya subkultur baru dari ruang-ruang inklusif publik, mungkin saja melahirkan pemahaman lebih mendalam perihal hubungan antarmanusia yang berlandaskan edukasi budaya masyarakat secara alamiah, serta mengembangkan aspek perekonomian dari segala faktor, yang mana membawa harapan baru bagi generasi berikutnya untuk bertumbuhkembang secara lebih natural dan partisipasif antarsesama.
Menurutmu, mungkinkah 'Citayam' bisa membawa kita kemana-mana?