Pernahkah kamu bertanya, bagaimana jika kehidupan yang kamu jalani saat ini hanyalah salah satu versi dari ragam versi kehidupan yang jumlahnya tak terbatas? Apa jadinya bila kamu mengetahui bahwa ada semesta lain di mana kehidupanmu lebih baik dari yang sekarang kamu jalani? Dan semua itu, berawal dari satu keputusan berbeda yang akhirnya membawamu ke jalan yang lain. Pertanyaan mengenai bagaimana jika, apa yang bisa terjadi, dan apa yang mungkin, disajikan secara apik dalam film Everything Everywhere All at Once.
Melalui Everything Everywhere All at Once, A24 mempersembahkan sebuah pengalaman sinematik yang mungkin tak akan kita temukan di film lainnya. Film fiksi ilmiah garapan Daniel Kwan dan Daniel Scheinert (atau yang lebih dikenal sebagai The Daniels) ini mengusung konsep multi semesta yang dieksekusi dengan liar sehingga pastinya akan membuat kepalamu berputar.
Everything Everywhere All at Once bercerita tentang Evelyn Wang (Michelle Yeoh) yang mengelola usaha binatu bersama suaminya, Waymond. Evelyn sedang menghadapi berbagai permasalahan dalam hidupnya usahanya sedang diaudit oleh kantor pajak, suaminya menggugat cerai dirinya, dan ayahnya (Gong Gong) yang berwatak keras sedang berkunjung. Tak hanya sampai di situ, Evelyn juga menghadapi dilema ketika putrinya (Joy) yang merupakan seorang lesbian meminta restu agar diperbolehkan memperkenalkan pasangannya ke hadapan kakeknya.
Everything Everywhere All at Once Film/ Foto: everythingeverywheremovie.com |
Dengan segala kerumitan dalam hidupnya, Evelyn pun bertanya-tanya mengapa semuanya bisa sampai di titik ini? Di tengah-tengah kekacauan ini, Evelyn didatangi oleh Alpha Waymond, suaminya dari semesta yang lain. Alpha Waymond mengatakan bahwa dunia berada dalam bahaya akibat ulah Jobu Tupaki yang menciptakan black hole untuk menghapus semua hal yang ada di dunia. Alpha Waymond pun meminta pertolongan Evelyn sebab di semesta yang lain, Evelyn adalah ilmuwan yang menemukan perjalanan lintas semesta dan memiliki kekuatan untuk menghentikan Jobu Tupaki. Evelyn pun terkejut ketika mengetahui bahwa Jobu Tupaki adalah Joy, anaknya sendiri. Ia pun akhirnya mencoba menggunakan kekuatannya, bukan untuk menyelamatkan dunia dari Jobu Tupaki, tapi untuk mengembalikan Joy yang ia kenal.
Just like the title, this movie gave us everything, and I mean literally everything. Hal-hal yang di luar nalar dan sebelumnya tak terbayangkan pun muncul bertubi-tubi dalam alur cerita sampai ke titik di mana semuanya menjadi absurd. Contohnya, ada banyak sekali karakter Evelyn mulai dari Evelyn yang menjadi kung fu master, Evelyn yang menjadi koki, Evelyn yang tinggal di semesta di mana semua orang memiliki tangan berbentuk hot dog, hingga Evelyn yang berbentuk pinata. Tapi justru karena absurditas tersebutlah film ini menjadi brilian.
Meski berbagai absurditas ini seru untuk ditonton, tapi Everything Everywhere All at Once bagi saya adalah drama keluarga yang mengajarkan banyak hal mengenai kehidupan. Salah satunya, film ini mengajarkan bahwa menjadi nihilis bukanlah solusi atas segala keterpurukan yang terjadi dalam hidup. Menjelang akhir film, Jobu Tupaki mengatakan bahwa ia tidak membuat black hole untuk menghancurkan dunia, tapi untuk menghancurkan dirinya sendiri karena ia tak melihat ada cara lain untuk kabur dari realita yang menjeratnya.
Everything Everywhere All at Once/ Foto: Pajiba |
Pada akhirnya, film ini juga mengajarkan saya mengenai trauma antargenerasi. Percakapan antara Evelyn, Gong Gong, dan Joy, mengungkap akar dari segala chaos yang terjadi. Sebab, semua keinginan Jobu Tupaki untuk mengahapus segalanya merupakan wujud dari rasa sakit dan trauma yang dirasakan oleh Joy. Memasuki akhir cerita, saya pun dibuat berlinang air mata oleh percakapan antara Evelyn dan Joy. Begini percakapannya:
"So what, you're just gonna ignore everything else? You could be anything, anywhere. Why not go somewhere where your daughter is more than just...this? Here, all we get are a few specks of time where any of this actually makes any sense."
"Then I will cherish these few specks of time."
Ketika menyaksikan film ini, saya tidak bisa berhenti berpikir bahwa apa yang dialami Evelyn juga dialami oleh kita semua. Bukankah kita semua memang menjalani kehidupan yang sungguh absurd? Dan seperti Evelyn yang terjebak dalam kekacauan, kita pun juga tetap menjalani hidup semampu yang kita bisa. Mungkin di semesta lain, ada versi lain dari diri kita yang hidup lebih baik dan lebih bahagia. Tapi tak apa. Sebab seburuk-buruknya pilihan yang kita buat, pasti ada satu hal yang bisa membuat hidup layak untuk dipertahankan.
(ANL/MEL)