Setelah satu bulan berpuasa, umat Islam akan menyambut Hari Kemenangan atau Lebaran dengan penuh gegap gempita. Seperti misalnya memborong pakaian baru di pusat perbelanjaan; menyiapkan berbagai jenis makanan dan kudapan; hingga melakukan Takbiran dari malam sampai pagi tiba. Masyarakat Indonesia sendiri melakukan takbiran dengan banyak cara. Mulai dari takbiran di masjid, melakukan tabligh akbar di pinggir-pinggir jalan; hingga melakukan takbiran sambil jalan-jalan, yang dikenal dengan istilah Takbir Keliling.
Menggemakan keagungan Tuhan sedari berbuka puasa hingga Salat Ied tiba memang dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, sejak awal Islam berkembang di Indonesia, perayaan takbiran tidak henti dilakukan. Meskipun di masa kini, melakukan takbir dengan berjalan-jalan atau berkeliling justru acap kali tidak dianjurkan atau bahkan dilarang.
Prosesi takbir keliling memang mulai jarang kita temukan di masa ini. Terutama semenjak pandemi corona merajalela. Namun begitu, pada beberapa dekade ke belakang, banyak sekali anak-anak muda yang Takbiran dengan melakukan konvoi atau berkeliling. Rombongan remaja awal biasanya melakukan pawai obor sambil membawa tetabuhan dan melantunkan takbir di kampung-kampung. Sementara anak remaja menuju dewasa, akan melakukan takbir keliling kota menggunakan truk-truk besar atau bis sewaan. Kegiatan semacam inilah, yang pada akhirnya mengawali pelarangan takbir keliling di kota-kota besar.
llustrasi takbiran/ Foto: CNN Indonesia |
Tradisi Takbir Keliling Masyarakat
Saat ini, takbir keliling terus dilarang banyak pihak. Pihak kepolisian menganggap kegiatan tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara para politisi dan kaum cendekia, menganjurkan para pemuda untuk fokus melakukan hal yang bermanfaat. Lain halnya dengan para orang tua, mereka justru melarang anak-anaknya untuk takbir keliling karena cenderung membahayakan nyawa. Padahal, jika kita mengintip sedikit ke belakang, kegiatan ini sebenarnya telah dilakukan sepanjang sejarah.
Semenjak awal kedatangan Islam, melakukan takbiran mengelilingi kampung atau kota ternyata sudah dilakukan. Mulanya, kegiatan ini diperuntukkan sebagai salah satu cara syi'ar agama Islam. Beralih ke masa kerajaan kuno, umat Islam melakukannya dengan berkumpul di alun-alun. Sedangkan pada masa Hindia Belanda, masyarakat Batavia biasanya akan menaikkan bedug ke atas gerobak dan mengaraknya keliling kampung sambil bertakbir gembira.
Ketika Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, takbir keliling juga tetap ada, bahkan didampingi oleh pihak berkepentingan. Sebelum kendaraan menjadi modern, masyarakat bertakbir keliling dengan menggunakan becak serta kendaraan-kendaraan 2 Tak. Dan saat Orde Baru hingga Reformasi, masyarakat muda mulai menyewa truk atau bus kota untuk dinaiki sebagai kendaraan konvoi takbiran berkeliling kota.
Ilustrasi bedug takbiran/ Foto: Detik |
Mudharat dan manfaat
Selain menjadi media syi'ar dan momen bersenang-senang saat menyambut hari kemenangan, takbir keliling juga kerap dijadikan momen silaturahmi warga yang mudik ke kampung halaman. Kelangsungannya pun juga disebut meningkatkan nilai solidaritas serta kekompakan dalam berkreativitas. Walaupun begitu, hal ini justru sering disalahartikan oleh segelintir pemuda, yang pada akhirnya menyisakan warna kelam saat takbir keliling.
Pada masa-masa silam, banyak sekali kabar mengerikan yang terjadi saat takbir keliling dilangsungkan. Mulai dari perkelahian kelompok yang memakan korban, banyaknya kecelakaan lalu lintas, hingga tingginya aksi kriminalitas. Ketika takbir keliling berlangsung terutama di kota-kota besar, mobilitas massa yang tinggi memang sulit dihindari, dan semakin memungkinan terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan. Oleh sebab itu, keberlangsungan takbir keliling terus dilarang pada masa sekarang.
Hal-hal negatif seperti di atas memang sulit dimungkiri terjadi. Tetapi rasanya, hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh mereka yang sungguh berniat mengagungkan nama Tuhan. Melainkan dimanfaatkan para kriminal yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Karena itu, rasanya tidak tepat untuk serta-merta melarang takbir keliling begitu saja.
Sejarah mencatat, takbir keliling telah menjadi tradisi yang terus kita pelihara. Dan, di antara semaraknya yang bergelora, terdapat banyak manfaat takbir keliling yang justru diabaikan oleh pihak yang melarang. Jika disadari, mudharat yang terjadi saat takbir keliling sebenarnya bisa kita cegah dan tanggulangi bersama. Apalagi dengan bantuan dari aparat kepolisian kita yang cekatan. Pasti ulah oknum-oknum kriminal saat takbiran bisa kita cegah dan minimalisir bersama-sama.
Mengagungkan Tuhan memang bisa dilakukan di mana saja. Tidak harus dengan berkeliling kota dengan suara yang lantang. Bahkan dari dalam rumah, atau sebatas melantunkannya dengan pelan di dalam langgar pada penjuru gang, Tuhan yang Maha Besar tidak akan kehilangan Keagungannya. Hanya saja, menghilangkan semangat penghambaan berwujud takbir keliling, tampaknya akan menjadi antiklimaks yang menciderai euforia gembira masyarakat setiap kali lebaran tiba.
Untuk itu, dengan dibenahinya perspektif pada pelaku takbir keliling. Dan dibantu peran vital pihak kepolisan sebagai penjaga keamanan, ketertiban sekaligus pengayom masyarakat, sepertinya, sebagaimana yang dicatatkan sejarah, takbiran keliling bisa kembali dilangsungkan dengan hikmat dan penuh manfaat. Lagipula dalam menyambut lebaran, kita lebih dianjurkan untuk bersenang-senang dan bukan melarang-larang, bukan?
(RIA/DIR)