Menjelang Lebaran, ucapan "Om, bagi THR dong, Om!" tampaknya menjadi salah satu kalimat yang paling sering kita dengar, setelah rangkaian ucapan Selamat Lebaran dan permintaan maaf. Baik hari raya Lebaran atau hari raya keagamaan lainnya di Indonesia, memang selalu diikuti pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) dan ritual "salam tempel" yang unik serta sulit ditemukan di negara lain..
Di masa mendekati Lebaran seperti sekarang, biasanya pembagian THR telah dinantikan oleh kaum pekerja. Secara umum, THR memang berarti pendapatan non-upah para pekerja dan keluarganya yang wajib dibayarkan perusahaan sebelum hari raya keagamaan. Namun pada praktiknya, THR juga berarti "salam tempel" antarsaudara ketika silaturahmi hari raya tiba.
Pada perayaan Lebaran tahun ini, pembagian THR yang tepat waktu dan sesuai menjadi sebuah angin segar bagi kaum pekerja, mengingat pembagian THR pada dua tahun sebelumnya harus tersendat akibat badai corona. Sementara itu, secara regulasi, Pemerintah Indonesia mengatur perkara pembagian THR, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 (Permenaker No.6/2016) tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang berisi 13 Pasal mengenai peraturan mendalam pembagian THR.
Namun demikian, jauh sebelum adanya aturan THR seperti sekarang dan sebelum THR memiliki makna yang beragam di masyarakat, sepak terjang THR telah melanglang buana di catatan sejarah. Mulai dari menjadi suatu terobosan nasional; dipandang sebagai hal yang kontroversial; hingga mengalami banyak perubahan karena adanya tuntutan dari masyarakat.
Ilustrasi THR/ Foto: Shutterstock |
Sekilas Sejarah THR
Sedikit menengok sepak terjang THR, istilah yang lumrah digunakan ketika momen Lebaran tiba ini bermula pada Tahun 1951 lalu. Pada masa pasca perang kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang waktu itu berbentuk Republik Indonesia Serikat, melalui Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo, memutuskan untuk memberikan Persekot Hari Raya kepada para Pegawai Pamong Praja (sekarang PNS), agar mendapatkan kesejahteraan di Hari Raya.
Pada awalnya, fenomena ini memang mendapat sambutan yang baik. Namun di tengah jalan, terdapat gelombang protes yang hebat dari kaum buruh, yang notabenenya bukan PNS dan tidak menerima tunjangan. Kemudian, pada tahun 1954, setelah serangkaian mogok kerja dan aksi protes panjang, para buruh akhirnya mendapat hak yang sama dengan para PNS, yang disebut dengan "Hadiah Lebaran".
Seiring pergantian zaman, aturan-aturan mengenai tunjangan pada hari raya keagamaan pun mengalami penyesuaian. Ketika rezim Orde Baru Menjabat, aturan sebelumnya, yakni "Persekot Lebaran" dan "Hadiah Lebaran" bagi para buruh, diubah menjadi Tunjangan Hari Raya oleh Menteri Tenaga Kerja saat itu, Abdul Latief. Kebijakan ini lah, yang mengawali cikal bakal THR, sebagaimana yang kita ketahui pada masa ini.
Di Era Reformasi, pengaturan THR disesuaikan kembali melalui Permenaker No.6/2016, melalui 13 Pasal di dalamnya. Peraturan ini meliputi siapa saja penerima hak THR, lengkap dengan tata hitung pembayarannya yang disesuaikan. Selain itu, Permenaker No.6/2016 juga mengatur tentang pembagian THR berdasarkan agama/kepercayaan yang dianut masing-masing penduduk. Misalnya pemeluk agama Islam menerima THR saat Idul Fitri, umat Kristiani menerimanya saat Natal, dan seterusnya.
Ilustrasi uang THR/ Foto: PXHere |
Adakah THR di Negara Lain?
Budaya pembagian THR merupakan suatu fenomena pada hari raya keagamaan yang terus dipelihara di Indonesia. Bahkan, keberadaannya menjadi salah satu yang paling ditunggu ketika Lebaran atau hari raya lain tiba. Menariknya, hal semacam ini ternyata hanya ditemukan secara spesifik di Indonesia, dan sulit ditemui di negara-negara lain.
Di luar negeri, tunjangan yang bersifat keagamaan memang tidak teridentifikasi keberadaannya. Hanya saja, beberapa negara tertentu menerapkan Holiday Allowance kepada para penduduk. Di Belanda dan Denmark misalnya. Pemerintah dari kedua negara Eropa tersebut memberikan tunjangan berlibur kepada para penduduk ketika musim berlibur tiba. Walaupun nominal perhitungannya tidak sama, keduanya tetap memberikan jenis tunjangan yang serupa. Sementara di Negeri Adidaya, Amerika Serikat, para penduduknya yang mayoritas beragama Kristen tidak mendapat tunjangan khusus ketika Natal tiba. Tetapi mereka mengenal istilah bonus liburan penghujung tahun, yang dibayarkan terpisah dari upah pokok yang ada.
Kembali ke tradisi THR di Tanah Air. Selain THR formal yang diatur oleh pemerintah, masyarakat Indonesia juga mengenal THR yang berlaku secara tradisi budaya. Ketika Lebaran tiba, biasanya orang-orang dewasa yang sudah bekerja, secara sukarela akan membagikan "salam tempel" berupa lembaran uang kepada sanak saudara yang lebih muda, sebagaimana yang terjadi ketika momen perayaan Imlek.
Ilustrasi membagi THR ke anak atau keponakan/ Foto: Shutterstock |
Om, Bagi THR dong, Om!
Jika peraturan THR secara formal diatur melalui Permenaker No.6/2016 yang menetapkan besaran nominal THR menurut kondisi kerja, maka THR yang diterapkan secara tradisi budaya memiliki aturan tersendiri yang tidak kasat mata.
Pada tatanan masyarakat sosial, membagikan THR kepada sanak saudara bukanlah suatu kewajiban formal sebagaimana yang diatur negara untuk para pekerja. Tetapi, lebih bersifat sukarela. Walaupun demikian, terdapat beberapa aturan yang selama ini dijalankan masyarakat. Misalnya, pemberi THR adalah orang dewasa yang sudah memiliki pekerjaan tetap atau sudah berkeluarga. Sedangkan penerima THR, merupakan orang yang lebih muda secara usia, seperti remaja tingkat awal, hingga adik-adik yang masih belajar di sekolah.
Perkara nominal, tradisi pembagian THR yang biasa kita temui saat hari Lebaran juga tidak memiliki ketentuan tertentu. Nominalnya bisa berapa saja, seikhlas sang pemberi THR. Terkadang, ada peraturan unik yang diterapkan pada pembagian THR. Contohnya, nominal THR akan dikalikan berapa banyak hari puasa dari sang penerima. Kemudian, ada juga bonus tertentu apabila penerima THR menjalankan puasa dengan full. Sedangkan fakta unik dari fenomena ini adalah, semakin besar usia penerima THR, maka nominal yang diberikan justru semakin kecil. Sepertinya, para pembagi THR tahu kalau yang sudah besar, lebih mengerti penggunaan uang untuk senang-senang, ya!
THR berkembang seiring peradaban masyarakat Indonesia. Walaupun manfaatnya tidak bisa dijelaskan secara panjang lebar dan ilmiah, kebanyakan orang yakin, bahwa dengan membagikan uang saat lebaran atau perayaan hari raya, sama dengan memberikan kebahagiaan kepada sesama dan menjadi suatu esensi melipatgandakan rezeki dengan cara yang menyenangkan. Jadi, kalau memang seperti itu, boleh kah saya meminta THR dari kamu? Biar cuan makin berkah. :)
(RIA/DIR)