Selama dua dekade terakhir, kerja-kerja kolektif di kancah seni Indonesia berkembang dan bertumbuh. Banyaknya kolektif seni yang muncul sejak awal tahun 2000an merupakan respons terhadap stagnannya institusi seni. Keresahan tersebut mendorong para seniman untuk membuat ruang yang dikelola secara kolektif sebagai wadah untuk berekspresi dan bereksperimen. Ruang inilah yang hadir dalam wujud kolektif seni. Berbeda dengan museum yang dikelola oleh negara dan galeri seni yang dikelola oleh swasta, kolektif seni merupakan sebuah ruang yang dikelola secara sukarela oleh para seniman yang disatukan oleh ideologi yang sama.
Hari ini, kolektif seni yang berawal sebagai ruang alternatif pun bisa memiliki daya saing yang setara dengan museum atau galeri-galeri besar. Contohnya, Ruang Rupa di Jakarta atau Ruang Mes 56 di Yogyakarta. Namun, ada banyak juga kolektif-kolektif muda yang baru muncul beberapa tahun belakangan. Mereka tak hanya datang membawa ide-ide segar, tapi juga membuka ruang bagi seniman-seniman muda untuk berjejaring dan bereksperimen.
Salah satunya, yaitu Kapital Space yang terbentuk di Bandung tahun 2020. Kapital Space sendiri berada di bawah naungan Yayasan Pengembangan Informasi Alternatif Seni (PIAS). Hingga sekarang, kolektif seni ini dikelola oleh 6 orang anggota yang berasal dari latar belakang kesenian. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai seluk-beluk kerja kolektif dan kontribusi yang mereka berikan untuk dunia seni, CXO Media berbincang-bincang dengan Eko Sutrisno, Shafira Amaradani, dan Haiza Putti dari Kapital Space.
Klandestin/ Foto: Kapital Space |
Ruang Kolaborasi dan Wadah Eksperimentasi
Pada mulanya, Kapital Space merupakan ruang yang diinisiasi sebagai tempat berkumpul bagi anggota-anggotanya sendiri. Kala itu, ruang-ruang seni alternatif di Bandung mulai berkurang. Sehingga, ruang-ruang yang ada pada saat itu tidak sebanding dengan jumlah seniman yang ada. Inilah salah satu permasalahan yang coba direspons oleh Kapital Space. Selain itu, ruang ini juga diinisiasi agar para pelaku kreatif bisa berjejaring. "Ruang dan ide-ide yang kami keluarkan sebagai kolektif banyaknya mengambil segmen seniman yang muda dan baru; baru keluar, baru ingin mencoba sesuatu. Jadi bagaimana teman-teman yang sama-sama baru seperti kami, bisa bertemu dan berjejaring," jelas Eko.
Di samping itu, Kapital Space juga diharapkan bisa menjadi wadah eksperimentasi bagi para seniman yang ingin mengeksplorasi gagasan ataupun metode dalam berkarya. "Adanya ruang yang dikelola oleh para seniman sendiri penting karena bisa menjadi wadah untuk eksperimentasi, itu juga yang kadang mungkin sulit didapatkan dari ruang-ruang yang formal. Sebenarnya harapannya dari situ Kapital Space bisa menjadi tempat untuk produksi dan distribusi gagasan yang baru, yang mungkin belum terwadahi di ruang-ruang formal lainnya," ucap Haiza.
Ruang formal yang dimaksud contohnya adalah galeri-galeri besar atau institusi pendidikan tinggi. Dengan pendekatan yang lebih cair dan prinsip kolaborasi, Kapital Space mencoba merespon keterbatasan ruang ini. Hal ini tercerminkan dalam salah satu program mereka yaitu Here Comes a New Challenger. Di sini, seniman baru diberi ruang untuk berproses dan memamerkan karya mereka. Beberapa seniman yang sudah lebih senior juga diundang untuk menyampaikan masukan secara kekaryaan.
Kapital sendiri tidak membatasi diri dalam seni rupa, mereka berupaya untuk menumbuhkan kolaborasi dalam wacana yang lebih luas, yaitu seni dan budaya. Oleh karenanya, mereka juga menawarkan program yang bersifat multidisiplin. Salah satunya, program Living Poets Society yang bereksperimen dengan mengubah naskah drama menjadi pertunjukan teater boneka. Program ini merupakan kerjasama dengan Bon Puppet, kelompok teater boneka dari Bandung. Selain itu, ada juga program Mememasak yang baru-baru ini dilaksanakan. Program ini mempertemukan peneliti dan praktisi meme untuk mendiskusikan kultur meme di internet lalu meresponnya melalui karya seni.
Kolaborasi merupakan pondasi utama yang menopang kerja-kerja yang dilakukan Kapital Space. Kapital Space sendiri terbuka dengan ide atau gagasan dari pihak-pihak lain. Misalnya, program mereka yang berjudul Klandestin merupakan pameran yang inisiasinya datang dari Suar Padma. Suar Padma sendiri merupakan sebuah kolektif yang bergerak di isu sosial-politik, mereka menghasilkan poster-poster aksi yang disebar secara daring. Selain itu, ada juga program lainnya seperti Ruang Dua Tiga, Shifting Spaces, dan Ambok(sing): Pameran Rilisan Fisik Musik Bandung 2020-2021.
Ambok(sing)/ Foto: Kapital Space |
Dikelola Bersama Untuk Semua
Pada umumnya, tantangan yang dihadapi oleh kebanyakan kolektif adalah bagaimana mempertahankan anggotanya--melihat sebuah kolektif muncul dari inisiatif yang sifatnya sukarela. Namun di Kapital Space, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi justru adalah bagaimana mengelola ide kreatif dengan kondisi yang terpisah jauh. Meski secara ruang Kapital Space berada di Bandung, namun anggotanya tersebar di berbagai daerah. "Biasanya kolektif yang di satu tempat aja udah susah untuk mempertahankan SDM-nya. Ternyata masalah kita justru bagaimana mengelola ide-ide yang banyak datang dari SDM ini. Jadi tantangannya adalah gimana anggota kita ini ada di mana-mana dan semuanya punya ide," ujar Shafira.
Pandemi juga sempat menjadi kendala tersendiri, sebab ruang-ruang seni biasanya mengundang orang-orang untuk bisa datang secara langsung. Di masa ketika semua aktivitas dipaksa untuk hybrid, Kapital Space mencoba untuk menyiasatinya dengan membuat program yang bisa dilaksanakan secara virtual. Salah satunya, Mememasak yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Meski di satu sisi pandemi mendatangkan tantangan tersendiri, tapi ternyata momentum ini juga memberi kesempatan bagi anggota Kapital Space untuk memikirkan ulang mengenai batasan-batasan dalam praktik seni dan mengeksplorasi cara-cara lain untuk tetap bisa berkarya.
Sebagai ruang yang dikelola secara bersama-sama, Kapital Space juga berupaya untuk berkontribusi terhadap lingkungan di sekitar mereka. Lokasi Kapital Space sendiri terletak di daerah Ciburial yang merupakan perkampungan. Di dekat situ, ada pesantren yang cukup besar. Sehingga pada mulanya, sempat ada ketakutan munculnya penolakan terhadap seni rupa yang dianggap nyeleneh. Tapi ternyata, warga sekitar terbuka dengan kehadiran mereka. Tak hanya itu, anak-anak yang tinggal di sekitar situ juga bisa ikut menikmati pameran atau sekedar menggunakan Kapital Space sebagai ruang bermain.
Bisa memberikan dampak baik bagi ruang sosial yang ada di sekeliling mereka merupakan impian sederhana yang dimiliki para anggota Kapital Space. "Bagaimana ya kita juga pengen ngasih sesuatu ke ruang sosialnya sebagai warga kampung. Jadi gimana mereka bisa menggunakan ruang ini untuk keseharian mereka. Setidaknya mereka (anak-anak) punya ruang lain untuk bermain di tengah kota yang ruang bermainnya dibatasi, " jelas Eko.
Kapital Space muncul sebagai kolektif baru di antara kolektif-kolektif besar yang sudah ada sebelumnya. Mereka membawa ide-ide segar dan membuka ruang yang, harapannya, bisa dinikmati oleh siapa pun. Di ruang inilah, batasan-batasan dalam berkesenian dinegosiasikan kembali dan akhirnya menjadi sangat cair. Meski berskala kecil, justru kehadiran ruang alternatif seperti Kapital Space penting dalam membangun ekosistem seni yang inklusif. Dengan demikian, kolektif seni yang dikelola secara mandiri oleh para seniman tak kalah pentingnya dengan institusi seni formal.
Living Poets Society/ Foto: Kapital Space |