Interest | Art & Culture

Toxic Fandom: Adakah Batasan dalam Menjadi Fan?

Kamis, 17 Mar 2022 15:00 WIB
Toxic Fandom: Adakah Batasan dalam Menjadi Fan?
Ilustrasi fans Foto: Anthony Delanoix - Unsplash
Jakarta -

Mengekspresikan kecintaan terhadap suatu hal tentu adalah hal yang menyenangkan. Tak hanya itu, bertemu dengan sesama penggemar yang memiliki minat yang sama juga adalah pengalaman yang memuaskan. Oleh karenanya, menjadi bagian dari fandom bisa membawa beberapa dampak positif terhadap kesehatan mental. Melansir Teen Vogue, profesor psikologi dari Columbia University Dr. Laurel Steinberg mengatakan, rasa belonging yang tumbuh ketika menjadi bagian dari fandom bisa membantu anak muda untuk terhubung dengan satu sama lain dan memperkuat identitas diri. Selain itu, berbicara tentang hal yang kita sukai kepada orang dengan minat yang sama bisa memberikan rasa senang dan kepuasan.

Namun, beberapa kali kita menemui kasus-kasus di mana fans telah melewati batas dan merugikan orang lain. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, beberapa penggemar boyband Korea NCT Dream merusak kemasan Lemonilo demi mendapatkan photocard yang ada di dalam kemasan. Perbuatan tak bertanggungjawab ini merugikan karyawan minimarket, supermarket, dan juga Lemonilo.

Lain lagi halnya dengan kasus fandom Star Wars. Pada tahun 2017, pemeran Star Wars: The Last Jedi, Kelly Marie Tran menerima ujaran kebencian di akun media sosialnya. Kelly yang memerankan Rose Tico merupakan orang Asia-Amerika pertama yang ada dalam jajaran cast Star Wars. Hal ini membuatnya menerima banyak ujaran kebencian bernada rasis dan seksis dari fans-fans Star Wars. Kelly pun berhenti menggunakan sosial media dan harus menjalani terapi akibat hal ini.

Kedua kasus di atas memiliki konteks yang berbeda-beda. Kasus fans NCT Dream dapat dikatakan sebagai obsesi yang melewati batas. Sedangkan kasus Star Wars mencerminkan rasisme yang berkedok fandom. Lalu, di mana sebenarnya batasan antara fan yang sehat dan yang tidak?

.Ilustrasi fans/ Foto: Ronê Ferreira - Pexels

Sebenarnya, batas antara yang toxic dan non-toxic tidak sesederhana hitam dan putih, definisi dari toxic fandom pun bisa sangat luas. Tapi dalam beberapa kasus, perilaku fan bisa mencapai obsesi yang tidak sehat dan mencelakakan orang lain. Di Korea Selatan, misalnya, perilaku fan yang ekstrim tercerminkan melalui fenomena sasaeng.

Sasaeng merupakan sebutan bagi para fans yang terobsesi sampai di titik mereka menginvasi kehidupan pribadi idola mereka. Obsesi ini mencakup berbagai perilaku, mulai dari stalking, pengiriman surat ancaman pembunuhan, hingga penculikan. Salah satu contohnya, salah satu fans EXO ada yang ketahuan memasang kamera tersembunyi di hotel tempat mereka menginap.

.Ilustrasi fandom KPOP/ Foto: Wikimedia Commons

Hal ini tidak saja mengganggu privasi, tapi juga menjurus ke perilaku kriminal yang berbahaya. Kwak Keum-joo, profesor psikologi di Seoul National University mengatakan bahwa keberadaan sasaeng disebabkan oleh kurangnya ruang bagi remaja-remaja Korea untuk menyalurkan melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan. Akibatnya, sebagian besar dari waktu mereka dihabiskan untuk mengkonsumsi acara televisi dan musik-musik K-pop.

Obsesi tidak sehat yang berakhir mencelakakan orang lain tidak hanya terjadi di Korea. Misalnya, fans One Direction pernah mengirimkan ancaman pembunuhan kepada Taylor Swift setelah dikabarkan menjalin hubungan dengan Harry Styles. Apa yang menyebabkan para penggemar ini melakukan hal-hal ekstrim yang mengganggu, bahkan membahayakan kehidupan idola mereka?

.Ilustrasi sasaeng/ Foto: Mantas Hesthaven - Pexels

Obsesi terhadap idola yang tidak sehat bisa muncul ketika seorang penggemar telah menjadikan idola mereka sebagai bagian dari identitas diri. Melansir Very Well Mind, ketika seorang penggemar mengekspresikan kecintaan mereka terhadap suatu hal, mereka sedang mengekspresikan identitas yang telah mereka pilih. Oleh karenanya, mereka melihat idola atau karya yang mereka gemari sebagai perpanjangan dari diri mereka. Dan ketika idola atau karya mereka sedang terancam, mereka pun tidak akan segan untuk membelanya. Hal ini bisa berbahaya ketika para penggemar mendasarkan identitas mereka seluruhnya pada identitas mereka sebagai fan. Ketika itulah kecintaan bisa berubah menjadi obsesi yang tidak sehat.

Tapi perlu diingat, keberadaan fan yang toxic hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan komunitas fans. Fandom terdiri dari individu yang beragam dengan berbagai bentuk ekspresi yang beragam pula. Jangan sampai kehadiran fan yang toxic ini menjadi halangan bagi kita untuk menyalurkan minat dan hobi. Boleh saja menjadi fan, selama tidak merugikan orang lain.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS