Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli, mungkin merupakan salah satu animator dan sutradara terbaik sepanjang sejarah. Bagi para penikmatnya, film-film Ghibli adalah sajian penuh kehangatan yang bisa membawa kita ke dunianya yang magis. Bagi para sineas di dunia film animasi, Miyazaki adalah sosok yang sangat dihormati. Seringkali, mereka berpaling ke film-film Ghibli sebagai rujukan untuk membuat sebuah karya. Tapi, peninggalan terbaik Miyazaki bukanlah mahakarya yang bisa diukur dengan pujian dari kritikus atau piala penghargaan. Warisan terbaik dari Miyazaki, melainkan, adalah pesan yang ia tinggalkan untuk anak perempuan di seluruh dunia melalui film-filmnya.
Dari 23 film yang telah diproduksi Ghibli, 16 di antaranya memiliki karakter protagonis perempuan. Miyazaki memilih karakter perempuan sebagai titik masuk untuk menceritakan dunia yang ia ciptakan-mulai dari Chihiro di Spirited Away, San di Princess Mononoke, hingga Nausicaä di Nausicaä of the Valley of the Wind. Namun, apa yang sebenarnya membedakan karakter perempuan ciptaan Miyazaki dengan karakter perempuan di film animasi lainnya? Kalau dari segi jumlah, tentu Ghibli kalah dengan Disney yang memang hampir semua karakternya adalah perempuan. Tapi, Ghibli menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh film-film animasi produksi Hollywood.
Dalam film-film Disney, seringkali perempuan digambarkan melalui dua sisi; sosok yang baik hati, pasif, dan menunggu untuk diselamatkan seperti Cinderella dan Aurora, atau sosok yang mencoba melawan feminitas tradisional seperti Merida dalam Brave. Karakter-karakter ini seringkali terjebak dalam pembagian gender yang biner dan kaku. Bahkan ketika Disney mencoba menciptakan karakter perempuan yang kuat dan berdaya seperti Merida, ia digambarkan melalui karakteristik yang maskulin Merida menolak untuk dinikahkan, tapi kemandiriannya kemudian diraih melalui keahliannya dalam memanah dan bertarung. Sehingga, karakter-karakter yang diciptakan Disney seperti hanya memiliki dua pilihan: menjadi sepenuhnya feminin atau sepenuhnya maskulin. Kelemahan inilah yang absen dalam karakter-karakter perempuan ciptaan Miyazaki.
Baca Juga : The Paradox of Strong Female Characters |
Melihat Dunia Melalui Perempuan Ghibli
Film pertama dari Ghibli ialah Nausicaä of the Valley of the Wind (1984). Karakter utamanya, Nausicaä, adalah seorang putri berusia 16 tahun yang tinggal bersama warganya di sebuah lembah bernama Valley of the Wind. Seribu tahun setelah perang apokaliptik yang menghancurkan peradaban manusia dan alam, hutan menjadi beracun dan dipenuhi serangga-serangga berbahaya. Nausicaä dan warga di Valley of the Wind adalah salah satu dari sedikit manusia yang tersisa. Di film ini, Nausicaä digambarkan sebagai petualang sekaligus ilmuwan. Dengan rok biru, masker pelindung, dan pesawat peluncurnya, ia menjelajahi alam-alam yang ada di sekitarnya, termasuk yang tercemar karena polusi dan racun. Ia bertekad menemukan cara untuk menyelamatkan komunitasnya serta lingkungan hidup yang sudah tercemar.
Sesudah Nausicaa, perempuan Ghibli berikutnya yang menjadi favorit banyak orang adalah Chihiro dalam Spirited Away (2001). Chihiro adalah seorang anak perempuan berumur 10 tahun yang menemukan orang tuanya telah menjadi babi setelah menyantap hidangan di dunia arwah. Ia pun harus memutar otak demi menyelamatkan orang tuanya. Dibantu seorang anak laki-laki bernama Haku, Chihiro akhirnya bekerja di sebuah tempat pemandian milik seorang penyihir bernama Yubaba. Chihiro harus menghadapi banyak ketakutan dalam dirinya sendiri. Apalagi, ia harus berhadap-hadapan dengan monster-monster dunia arwah.
Karakter perempuan berikutnya barangkali adalah yang paling mythical dari semua karakter di dunia Ghibli. Ia adalah San, gadis serigala dalam film Princess Mononoke (1997). Namun, San tidak seperti putri-putri lainnya yang umum kita temukan. Ia tidak hidup di kastil, ia tidak memakai gaun, dan ia tidak menikah dengan pangeran. San adalah seorang perempuan muda yang dibesarkan oleh Moro, dewi serigala, dan kawanannya. Bersama makhluk-makhluk hutan lainnya, San berkonflik dengan sekelompok manusia yang mengancam ekosistem hutan dengan kehadiran teknologi. Sepanjang film, San digambarkan sebagai karakter dengan identitas yang ambigu; ia tidak sepenuhnya manusia tapi juga tidak sepenuhnya serigala, ia tidak sepenuhnya feminin tapi juga tidak sepenuhnya maskulin. San mungkin adalah karakter yang memiliki aspek-aspek luar biasa, tapi yang ia lakukan sebenarnya sangat sederhana yaitu melindungi tempat tinggalnya.
Ketiga tokoh perempuan di atas memiliki berbagai persamaan. Mereka mungkin digambarkan sebagai karakter pemberani yang mampu menyelamatkan diri mereka sendiri dan juga orang-orang yang mereka sayangi. Tapi, mereka juga memiliki kedalaman emosional dan tidak takut menunjukkan kesedihan, ketakutan, ataupun kemarahan ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Inilah yang pada akhirnya membuat mereka berbeda dari karakter perempuan di film animasi yang lain. Dalam segala aspek mistis dari dunia Ghibli, perempuan-perempuan ini justru terasa realistis dan relatable. Perempuan-perempuan yang diciptakan Miyazaki pada akhirnya adalah manusia biasa, yang mencoba memperbaiki keadaan dengan apa pun yang mereka miliki.
Mendobrak Batasan
Perempuan dalam film-film Ghibli tidak terpaku oleh peran-peran tradisional yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Salah satunya, adalah karena Miyazaki tidak pernah mereduksi peran mereka ke dalam cerita romansa yang biasanya menjadi tema besar di film animasi dengan karakter perempuan. Sebenarnya, Ghibli selalu memunculkan karakter laki-laki. Tapi alih-alih membuat cerita romansa, afeksi dari masing-masing karakter ditunjukkan secara subtil. Antara Chihiro dan Haku, misalnya, meski ada rasa cinta yang tumbuh antara mereka berdua, tapi rasa cinta ini bisa diinterpretasikan sebagai tanda-tanda persahabatan.
Mengutip Harper's Bazaar, Miyazaki mengungkapkan bahwa ia tak percaya bahwa apabila laki-laki dan perempuan muncul dalam film yang sama, maka harus ada romansa di antara keduanya. Ia justru ingin menunjukkan hubungan yang berbeda, di mana kedua karakter bisa menginspirasi satu sama lain. Itulah bentuk cinta yang menurut Miyazaki penting untuk diangkat ke dalam film. Hal inilah yang membuat karakter perempuan di film-film Ghibli sangat menyegarkan dan terasa dekat dengan keseharian. Mereka bisa menjadi apa pun; mulai dari menjadi penyihir, gadis serigala, penjelajah, atau anak kecil biasa-biasa saja. Tapi yang pasti, mereka adalah perempuan pemberani yang kuat dan memiliki empati terhadap dunia di sekitar mereka. Dan semua ini mereka lakukan, tanpa harus memiliki pasangan.
Penggambaran perempuan dalam karakter-karakter Miyazaki tidak terjebak dalam pembagian stereotip gender tradisional. Nausicaa, Chihiro, dan San, ketiganya adalah karakter yang penuh dengan keberanian. Tapi mereka juga adalah karakter yang lemah lembut, peduli terhadap orang-orang di sekeliling mereka, dan kerap menunjukkan sisi diri mereka yang rapuh dan emosional.
Ketika diwawancarai oleh Roger Ebert, Miyazaki mengatakan bahwa ia membuat Spirited Away untuk anak-anak perempuan dari teman-temannya. "I wanted to make a movie especially for the daughters of my friends," ungkapnya. Keinginan sederhana namun tulus ini yang membuka jalan bagi Miyazaki untuk mampu menciptakan karakter yang bisa menjadi role model bagi anak-anak perempuan di mana pun. Miyazaki, pada akhirnya, menyulap imajinasi anak-anak dan cerita rakyat menjadi kisah yang bisa dinikmati secara universal.
Film-film Ghibli tidak pernah hitam-putih, ia menolak dunianya didikte oleh dualitas. Sebagaimana tak ada karakter yang sepenuhnya jahat atau baik, tak ada juga karakter yang sepenuhnya maskulin atau feminin dalam film-film Ghibli. Pendekatan ini membuat karya-karya Miyazaki begitu berdampak dan membekas bagi siapapun yang menontonnya. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua bisa menemukan kehangatan melalui film-film Ghibli. Sebab dunia yang diciptakan Ghibli adalah dunia yang ramah bagi semua orang.