Wanita dan perempuan memiliki arti yang relatif sama. Dalam bahasa sehari-hari, keduanya kerap digunakan secara bergantian. Namun, sebenarnya kedua kata tersebut memiliki asal muasal yang berbeda dan makna yang berbeda pula seiring beberapa periode kepemimpinan di Indonesia. Lantas, kata apa yang sebenarnya lebih baik digunakan, wanita atau perempuan? Dan terutama, mengapa hal ini penting untuk dibahas?
Menurut KBBI, perempuan didefinisikan sebagai orang (manusia) yang memiliki vagina dan biasanya dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, atau menyusui. Kata perempuan berasal dari bahasa Sansekerta 'pu' yang berarti hormat. Ada juga yang berpendapat bahwa kata perempuan diambil dari bahasa Jawa Kuno 'empu' yang berartikan tuan, mulia, ataupun hormat, kemudian mengalami afiksasi dengan penambahan imbuhan 'per; dan 'an' hingga menjadi perempuan.
Sementara wanita, menurut definisi KBBI, mereferensikan kepada perempuan dewasa. Kata wanita merupakan serapan dari bahasa Sansekerta, vanita, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai 'yang diinginkan'. Kemudian, kata tersebut diserap oleh bahasa Jawa Kuno menjadi wanita, sebelum diserap kembali oleh Bahasa Indonesia.
Ilustrasi perempuan/ Foto: Rheza Aulia/Pexels |
Merujuk pada sebuah jurnal, beberapa berpendapat bahwa kata wanita mendapat persepsi lain yang berkaca pada etimologi rakyat Jawa, yakni 'wani ditata' yang dapat diterjemahkan sebagai 'berani diatur' atau 'suka diatur'. Namun, hal ini memiliki sanggahan bahwasanya wani ditata bukanlah asal dari bagaimana kata wanita dibentuk, melainkan plesetan kata yang dimainkan oleh orang Jawa yang menambah makna tersendiri dari kata wanita.
Adanya perubahan makna yang dibawa oleh kata wanita diduga disebabkan karena praktik penggunaannya pada masa Orde Baru yang pada saat itu dapat tercermin dalam program-program dari Menteri Urusan Peranan Wanita seperti Dharma Wanita. Lima pilar utama dari Dharma Wanita adalah "Wanita sebagai pendamping suami, wanita sebagai ibu penerus keturunan, wanita sebagai pengurus rumah tangga, wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan wanita sebagai anggota warga negara." Konsep yang didorong dalam organisasi ini adalah peran wanita yang memenuhi 'kodrat'-nya, yang juga memunculkan konotasi bahwa wanita merupakan sosok penurut. Secara, keanggotaannya juga bersifat eksklusif hanya terdiri dari istri-istri Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ilustrasi perempuan Indonesia/ Foto: PNW Production/Pexels |
Selain Dharma Wanita, ada juga organisasi-organisasi "istri" lain seperti perkumpulan istri militer, Persit Kartika Chandra Kirana; ataupun istri dari figur profesional, Persatuan Istri Dokter Indonesia, Persatuan Istri Insinyur Indonesia, dan sebagainya. Fenomena ini mendorong gagasan bahwa perempuan merupakan seorang pendamping dari sosok laki-laki, yang menempatkan eksistensi, status, dan kehormatan perempuan pada bayangan identitas suaminya, ketimbang identitas perempuan itu sendiri.
Hal ini didukung pula oleh sebuah buku karya Susan Blackburn, "Women and the State in Modern Indonesia," yang mendeskripsikan status perempuan pada masa Orde Baru sebagai struktur grup di masyarakat yang perlu dibawa ke jalan "yang benar", tidak melawan, dan pasif, agar sejalan dengan kebutuhan dan cita-cita pemerintah dalam pembangunan.
Bercermin dari hal tersebut, para aktivis pergerakan perempuan mulai menolak istilah wanita dan domestikasi Orde Baru dengan mengembalikan istilah perempuan sesuai dengan apa yang tercantum dalam aspirasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928. Muncul berbagai LSM yang tidak berafiliasi dengan pemerintah dan menggunakan kata perempuan sebagai nama organisasinya, seperti Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mahardika, dan lainnya.
Ilustrasi perempuan/ Foto: Street Windy/Pexels |
Saat naiknya Abdurrahman Wahid ke kursi presiden, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita akhirnya diganti dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (sekarang telah menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Berangkat dari fenomena ini, hingga sekarang perjuangan pergerakan yang menyuarakkan kesetaraan gender lebih sering menggunakan kata perempuan dibanding kata wanita. Contohnya seperti Komnas Perempuan, hingga Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret mendatang.
Jika merujuk secara tafsiran, makna yang dibawa dari kata perempuan memiliki konotasi yang lebih bagus, namun ini juga bukan berarti bahwa adanya larangan dalam penggunaan kata wanita. Hanya saja, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata perempuan, terutama dalam menyoali soal pemberdayaan kedudukan, pembelaan hak asasi, maupun tentang nasib dan martabatnya.
Hal ini sejalan dengan sebuah telaah berjudul "Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik" terbit tahun 1997 yang melihat bahwa kata perempuan bernilai sejajar dengan laki-laki jika ditinjau secara etimologis. Alasannya berlandaskan karena selain berasal dari kata empu yang berarti tuan, mahir, ataupun berkuasa, kata perempuan juga berhubungan dengan kata "ampu" yang artinya penyangga atau penyokong. Selain itu, kata perempuan berakar erat dari kata empuan yang mengalami pemendekan menjadi puan, berartikan sebagai sapaan hormat pada perempuan.
Kata perempuan masih sering digantikan dengan kata lain seperti kata wanita tanpa adanya maksud degradasi. Namun, berkaca kembali pada perjuangan perempuan di Indonesia, penggunaan kata sangatlah penting untuk menyuarakan nilai dasar dari pergerakan itu sendiri. Sebab, hal tersebut merupakan langkah awal dalam melangsungkan perjuangan melawan sistem patriarkis, agar perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki.
(HAI/DIR)