Film remake atau film yang diproduksi ulang bukanlah fenomena baru. Sepanjang ingatan saya, ada banyak sekali film-film Asia yang meraih kesuksesan di pasar yang kemudian muncul versi Hollywood-nya. Tren ini marak sekali terutama di genre film horror atau thriller. Misalnya, salah satu film horor Jepang yang cukup populer yaitu Ringu (1998), didaur ulang oleh Hollywood menjadi The Ring (2002) yang dibintangi oleh Naomi Watts.
Ringu bercerita tentang sosok hantu perempuan bernama Sadako yang muncul dari kaset video misterius. Hingga hari ini, Ringu dianggap sebagai salah satu film horor Jepang terlaris sepanjang masa, ia juga merupakan awal mula dari tumbuhnya genre j-horror atau Japanese horror. Direktur Gore Verbinski kemudian mencoba mereplikasi kesuksesan tersebut melalui The Ring. Meski banyak plot yang disederhanakan dan disesuaikan untuk penonton Amerika Serikat, film ini berhasil meraih kesuksesan dengan pendapatan sebesar USD 248 juta secara global.
Kesuksesan The Ring mendorong Hollywood untuk terus membuat remake film horor Asia lainnya, seperti misalnya Ju-On: The Grudge (2002) yang didaur ulang menjadi The Grudge (2004) dan film Thailand Shutter (2004) yang didaur ulang dengan judul yang sama pada tahun 2008. Namun, tak semua remake ini bisa mengikuti jejak The Ring dalam hal keberhasilan. Shutter versi Hollywood, misalnya, didapuk oleh kritikus sebagai salah satu dari 20 film remake terburuk yang pernah ada. Padahal, film aslinya merupakan salah satu film horor paling ikonik di tahun 2000an.
Kegagalan ini juga terjadi di film The Uninvited (2009) yang merupakan remake dari film horor Korea A Tale of Two Sisters (2003)-yang meraih predikat sebagai salah satu film horor terbaik sepanjang masa. Mendaur ulang film memang bagaikan bermain judi, ia sangat menggiurkan tapi tidak bisa dipastikan apakah akan berhasil atau justru gagal. Namun, mengapa sebenarnya produser gemar mendaur ulang film? Dan apa dampaknya bagi ekosistem perfilman?
The Uninvited (2009)/ Foto: Bridgeman Images |
Untuk memahami mengapa praktik me-remake film marak di Hollywood, kita perlu menelusuri kapan dan bagaimana praktik ini bermula. Sebab, meski remake marak dilakukan di era 2000an, praktek ini sudah ada sejak di awal kemunculan industri perfilman. Dikutip dari esai yang ditulis oleh Emily Kubincanek dalam Film School Rejects, salah satu film pertama yang di-remake adalah film Perancis L'Arroseur arrosé yang digarap oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1895. Satu tahun kemudian, film ini direproduksi oleh Georges Méliès dengan judul L'Arroseur. Pada masa itu, belum ada peraturan mengenai hak cipta. Sehingga film dengan mudah direproduksi ulang oleh sutradara yang berbeda dan bahkan oleh negara yang berbeda.
Salah satu alasan utama dari praktek remake, yang kelak menjadi basis akan kritik terhadap praktik ini, adalah keinginan untuk meraih kesuksesan material atau profit. Sebab bagaimanapun juga, ekosistem perfilman tak bisa dipisahkan dari industri yang berorientasi bisnis. Masalahnya, ketika mengejar keuntungan menjadi alasan utama, film pun menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Unsur kreativitas atau orisinalitas yang sedari awal seharusnya menjadi intisari dari produk sinema pun pada akhirnya dikesampingkan. Hal ini bisa kita lihat contohnya dalam remake film A Tale of Two Sisters. Film horor ini bisa memiliki predikat sebagai salah satu film horor terbaik karena kedalaman cerita, kompleksitas narasi, serta penyajiannya yang elegan. Namun dalam The Uninvited, jalan cerita mengalami penyederhanaan dan disajikan dengan setengah-setengah.
Di luar alasan mengejar keuntungan, alasan lainnya lebih mengarah ke hal yang bersifat teknis, yaitu kemajuan teknologi. Salah satu contoh yang ditulis Emily Kubincanek adalah ketika perkembangan teknologi audio mengubah industri perfilman yang tadinya didominasi film bisu menjadi film dengan dialog. Dikarenakan budget peralatan yang mahal, dan sumber daya yang terbatas, pembuat film tidak mampu mengambil risiko untuk membuat film yang belum tentu disukai oleh penonton. Akhirnya, mereka mengambil formula cerita lama yang terbukti disukai, untuk menjamin filmnya akan sukses di pasar.
Di masa sekarang, perkembangan teknologi juga menjadi alasan bagi para pembuat film untuk meningkatkan kualitas film lama. Aspek-aspek teknis yang tadinya tak bisa dipenuhi karena keterbatasan teknologi, kini menjadi mungkin untuk diwujudkan. Sehingga, pemenuhan kreativitas dan idealisme juga bisa menjadi alasan bagi para sineas untuk mendaur ulang sebuah film.
Terlepas dari alasan yang melatarbelakangi praktek me-remake film, praktek ini kerap mendapat kritikan terutama dari publik. Belum lama ini, media sosial ramai dengan berita bahwa film kiamat zombie dari Korea Train to Busan akan mendapat giliran untuk didaur ulang. Setelah diperebutkan antara Paramount, Universal, dan Netflix, New Line Cinema akhirnya memenangkan kesempatan untuk menjadi studio yang memproduksinya.
Train to Busan (2016)/ Foto: Flickr |
Film yang berlatar di Amerika Serikat dan berjudul Last Train to New York ini disutradarai oleh sutradara Indonesia, Timo Tjahjanto. Namun alih-alih disambut dengan antusias, rencana remake ini mendapat banyak kritikan. Bukan rahasia lagi kalau film Asia yang diproduksi ulang oleh Hollywood sangat beresiko untuk gagal. Selain itu, banyak juga yang mengkritik remake ini sebagai bentuk whitewashing. Pasalnya, ketika dibuat untuk audiens Amerika, remake ini akan menghilangkan konteks sosial dan budaya Korea yang ada di film pertama.
Meski mengejar keuntungan tak menjadi satu-satunya alasan dalam mendaur ulang sebuah film, tapi rasanya sulit untuk melihat remake sebagai usaha kreatif yang secara tulus dilakukan untuk meningkatkan kualitas karya. Praktek remake pun kerap diartikan sebagai langkah instan yang menjadi solusi dari habisnya ide dan kreativitas. Walaupun sah-sah saja memproduksi ulang sebuah film, penurunan kualitas dan hilangnya cultural values dari film original menjadi tak terhindarkan. Lagipula, masih ada banyak ide-ide segar di luar sana yang bisa dijelajahi dan dibentuk menjadi film berkualitas.