'Third wave' of coffee, sebuah istilah yang mungkin sudah sering kita dengar seiring dengan menjamurnya beragam kedai kopi di Indonesia. Kultur minum kopi dan apresiasi terhadap kopi yang semakin berkembang saat ini bukan terjadi begitu saja. Perkembangan dunia kopi hingga memasuki gelombang ketiga ini telah dimulai sejak tahun 1800-an, bermula dari first wave dan dilanjutkan dengan second wave, sebelum akhirnya berevolusi ke third wave.
Mengenal Evolusi Kopi
Evolusi kopi ternyata sudah berkembang hingga mencapai tiga gelombang. Bagaimana sejarah evolusi kopi selama ini? Kami mengupas tuntas setiap gelombang dari evolusi kopi di bawah ini.
First Wave
Gelombang pertama dimulai pada tahun 1800-an. Pengusaha melihat pasar untuk menyediakan kopi yang terjangkau dan praktis. Gelombang pertama ini banyak menerima kritik karena melupakan rasa dan kualitas demi mempromosikan kenyamanan dan melakukan produksi kopi secara massal. Konsumen masih terbiasa meminum kopi hanya untuk mendapatkan sensasi 'caffeine kick'. Namun, gelombang pertama ini memunculkan inovasi pengemasan kopi yang hingga kini masih digunakan.
Dari beberapa inovasi tersebut salah satunya adalah proses pengemasan vakum, yang ditemukan oleh R.W. Hills di tahun 1900. Proses menghilangkan udara dari kaleng kopi berhasil menghasilkan biji yang lebih segar. Sumber kopi berpindah dari pemanggang roti lokal ke rak pengecer grosir dari San Francisco ke Chicago dan akhirnya New York.
Selanjutnya ada juga kopi instan, yang booming di Amerika Serikat di awal 1900an. Kopi instan cepat, mudah, dan tidak memerlukan peralatan menyeduh. Hal ini sangat mendukung tentara Perang Dunia I pada tahun 1917 untuk memenuhi kebutuhan kopi mereka. Salah satu merek pelopor kopi instan saat itu adalah Nestlé. Pada tahun 1938, Nestlé mengeluarkan Nescafé yang kemudian menjadi merek kopi instan paling inovatif. Nescafé dipasarkan dan juga memasok militer Amerika Serikat untuk Perang Dunia II.
Second Wave
Gelombang kedua dimulai pada 1970-an, dipicu oleh ketidakpuasan konsumen akan rasa kopi yang tidak enak yang dipasarkan besar-besaran. Gelombang ini juga terjadi karena konsumen kopi mulai lebih menghargai kopi, maka mereka ingin merasakan kualitas yang lebih baik dan mengetahui asal-usul kopi yang mereka konsumsi. Dengan memiliki pengetahuan akan kopi, konsumen dibuai oleh konsep menikmati kopi sebagai sebuah pengalaman, bukan hanya minuman.
Pada fase ini, salah satu merek ternama Starbucks mulai muncul dan memiliki pengaruh lebih besar di industri kopi. Starbucks memahami fakta bahwa pasar sangat ingin memiliki pengalaman kopi yang lebih sosial dengan kopi yang lebih berkualitas. Maka, kedai kopi mulai berubah menjadi tempat pertemuan sosial daripada sekadar tempat untuk minum kopi. Pengalaman sosial minum kopi menjadi lebih penting daripada proses pengrajin memproduksi kopi.
Third Wave
Gelombang ketiga dikaitkan erat dengan dua kata: 'apresiasi' dan 'kualitas'. Gelombang ketiga Kopi merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Trish Rothgeb pada tahun 2002. Istilah ini diterbitkan di Roasters Guild Publication yang mendefinisikan tiga gerakan kopi sebagai 'gelombang'. Gelombang ini terdiri dari konsumen kopi yang dijuluki sebagai 'pecinta kopi'.
Konsumen jauh lebih tertarik untuk menikmati secangkir kopi sesuai dengan selera masing-masing dan beragam. Kopi gelombang ketiga juga dicirikan oleh para pecinta kopi yang tertarik dengan karakter kopi itu sendiri. Hal-hal lain yang erat terkait dengan gelombang ketiga antara lain: meningkatkan kualitas kopi, lebih banyak perdagangan langsung, penekanan yang lebih besar pada keberlanjutan, profil sangrai yang lebih ringan, dan metode penyeduhan yang inovatif. Perdagangan langsung kopi juga membuka kesempatan untuk barista dan roaster menceritakan langsung kepada konsumen kisah di balik kopi yang mereka sajikan. Di Amerika Serikat dan Australia, kedai-kedai kopi artisan mulai bermunculan. Barista-barista 'new wave' pun semakin banyak ditemui di kedai kopi untuk mengedukasi dan menceritakan kepada konsumen mengenai kopi yang mereka hidangkan.
Karakteristik penting lainnya dari gelombang ketiga adalah fokus industri pada keberlanjutan di seluruh rantai pasokan. Perdagangan kopi yang adil (fair trade) dan transparan, mendorong perlindungan terhadap petani kopi dengan membayar petani dengan harga yang adil, dan penggunaan produk pertanian yang tidak merugikan konsumen dan kolaborasi antara semua yang terlibat dalam industri kopi adalah beberapa upaya yang dilakukan untuk industri yang berkelanjutan (sustainable). Gelombang ketiga ini mempengaruhi secara positif semua orang yang terlibat dalam dunia kopi dalam skala global.
Perkembangan Kopi di Indonesia
Di Indonesia sendiri, beberapa tahun ke belakang dapat kita jumpai menjamurnya kedai kopi, mulai dari tipe coffee-to-go hingga kedai kopi artisan. Namun, tiga gelombang kopi ini berkembang di Indonesia dengan lini masa yang berbeda dari yang dialami oleh Amerika Serikat. Sebagai contoh, Starbucks membuka gerai pertamanya di Indonesia pada tahun 2002, kopi second wave butuh waktu beberapa tahun untuk menjadi tren di Indonesia. Starbucks berpengaruh pada menjamurnya kedai dan kafe yang utamanya menjual kopi di Indonesia. Merek kafe lokal pun banyak bermunculan untuk menyajikan konsep mirip Starbucks.
Di Amerika, second wave mendorong kehadiran pola konsumsi coffee-to-go. Sementara itu, pembeli kopi Starbucks di Indonesia cenderung mengkonsumsi di tempat sambil bekerja maupun berkumpul dengan teman. Banyak pula konsumen yang sudah terbiasa merasakan 'kopi kekinian' yang didominasi oleh rasa manis dari gula aren, sehingga tidak terbiasa mengenal espreso dan varian lainnya. Third wave di Indonesia masih terus berkembang. Spesialisasi kopi bersaing dengan tingginya permintaan untuk 'kopi kekinian' yang sering kali juga mengadopsi konsep coffee-to-go. Walaupun begitu, kedekatan Indonesia dengan sumber varietas kopi yang beragam dapat menjadi potensi untuk mengembangkan kopi artisan ke depannya.
(SAS/HAL)