Dengan banyaknya diaspora etnis Tionghoa yang tersebar di dunia, Imlek telah menjadi perayaan global yang hadir hampir di setiap negara. Namun dalam budaya Tionghoa, Imlek lebih dari sekedar merayakan tahun baru.
Sejarah Imlek
Layaknya budaya-budaya lain yang diselimuti legenda, perayaan Imlek juga memiliki cerita rakyatnya sendiri, yaitu legenda Nian. Dalam bahasa Mandarin, Nian memiliki arti sebagai tahun. Namun dalam mitologi China, Nian dipercayai sebagai sosok monster yang tinggal di dasar laut. Wujudnya berbadan singa dengan memiliki kepala unicorn lengkap dengan tanduk di tengahnya. Dipercayai, Nian akan muncul dari laut setiap tahun di saat musim semi untuk memangsa manusia dan hewan ternak.
Warga kemudian mencari tahu bagaimana caranya untuk menghindar dari teror yang dibawa Nian. Ternyata, Nian takut dengan suara bising dan warna merah. Itulah mengapa perayaan Imlek identik dengan warna merah. Barongsai yang dilengkapi dengan musik yang bising dipercaya bisa mengusir Nian. Namun selain dari cerita rakyat, asal-usul perayaan Imlek juga bisa ditelusuri melalui tradisi yang diturunkan dan dikembangkan dari dinasti ke dinasti.
Dikutip dari New World Encyclopedia, jejak perayaan Imlek bisa ditelusuri hingga ke 3,500 tahun yang lalu tepatnya di era Dinasti Shang (1600-1046 BC), di mana masyarakat mengadakan ritual dan memberi persembahan untuk menghormati dewa-dewa dan leluhur. Ritual ini dilakukan di awal musim semi, untuk mendoakan hasil panen yang baik. Maka pada awalnya, tradisi ini sangat erat kaitannya dengan aktivitas pertanian.
Tradisi yang dimulai oleh dinasti Shang ini kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti lain. Namun seiring waktu, perayaan tahun baru mengalami pergeseran. Pergeseran ini terjadi di era dinasti Jin dan Wen pada tahun 220-420. Perayaan tahun baru yang tadinya berfungsi sebagai ritual keagamaan dalam menyambut musim panen, mulai bergeser menjadi acara rakyat yang diselingi oleh hiburan. Orang-orang mulai mengadakan jamuan makan dan berkunjung ke rumah sanak saudara. Kemudian di era dinasti Tang, Song, dan Qing, perayaan imlek menjadi festival yang dipenuhi dengan atraksi-atraksi budaya, mulai dari tarian barongsai hingga bermain petasan.
Mulai dari abad ke 19, negara-negara Asia Timur mulai mengadopsi kalender Barat atau kalender Gregorian yang telah menjadi acuan waktu secara internasional. Pemerintah Tiongkok sendiri sejak tahun 1929 resmi mengadopsi kalender Gregorian. Pasca 1946, perayaan Imlek namanya berubah menjadi Festival Musim Semi.
Pengadopsian nama Festival Musim Semi memiliki dua tujuan: pertama untuk membedakan antara kalender gregorian dengan kalender China, dan kedua untuk menghormati masyarakat Tiongkok yang terdiri dari berbagai etnis. Untuk aktivitas kewarganegaraan, masyarakat Tiongkok menggunakan Kalender gregorian, misalnya hari buruh, hari perempuan. Namun untuk hari-hari penting dalam budaya Tionghoa, mereka menggunakan kalender China, seperti misalnya Festival Qing Ming (ceng beng), Festival Lampion, dan Imlek.
Sekarang di era modern, kalender China telah menjadi acuan bagi etnis Tionghoa di seluruh dunia untuk merayakan tahun baru China atau Imlek. Perayaan yang berawal sebagai ritual keagamaan kini telah menjadi salah satu hari raya yang dinanti untuk berkumpul bersama keluarga, menonton barongsai, dan berbagi angpao.