Klaim Indonesia sebagai negara yang penuh toleransi dalam kehidupan-baik berbudaya dan beragama, lagi-lagi harus dipertanyakan. Penyebab utamanya adalah kejadian penendangan dan pelemparan sesajen di area pasca erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur baru-baru ini. Pada sebuah video amatir berdurasi 30 detik tersebut, seorang pria di dalamnya mengatakan bahwa sesajen (dua wadah berisi buah-buahan dan nasi) di wilayah terdampak erupsi Semeru, merupakan penyebab kemurkaan Tuhan yang sering tidak disadari.
Video yang viral di berbagai media sosial tersebut lantas mengundang perdebatan dari banyak pihak. Perkaranya, sesajen yang merupakan produk budaya dan kepercayaan masyarakat setempat, malah dituding sebagai penyebab bencana dan murka dari Tuhan. Padahal bagi sebagian masyarakat sekitar semeru-yang kebanyakan bersuku tengger dan menganut agama Hindu, sesajen adalah salah satu wujud ekspresi kepada Sang Maha Pemilik Alam.
Seperti diketahui, ajaran agama Hindu memang sering memanfaatkan sesajen sebagai cara berkomunikasi dan penyembahan kepada yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, memperlakukan sesajen secara tidak hormat sama saja tidak mengindahkan kepercayaan sebagian masyarakat. Hal ini secara mudah bisa dicerna sebagai bentuk sikap intoleran yang tidak sepatutnya terjadi di masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Padahal secara luas, sesajen bisa dimaknai sebagai wujud sedekah atau penghormatan kepada alam atau kepada sesama. Sesajen sendiri diketahui sebagai produk asimilasi budaya antara kepercayaan kuno masyarakat Nusantara-yaitu Animisme yang mengagungkan alam, dengan agama yang hadir kemudian. Proses ini pada akhirnya menyisakan banyak aktivitas keagamaan berjalan bersamaan dengan tradisi nenek moyang masyarakat. Singkatnya, sesajen tidak hanya dimaknai sebagai ritus penyembahan, namun juga suatu tradisi budaya.
Budaya dan agama memang dua hal yang cukup berbeda. Walaupun begitu, pada perkembangannya perpaduan kedua hal tersebut justru membuahkan kelanggengan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama dan berbudaya. Agama Islam misalnya, datang dan disebarkan pertama kali di Indonesia melalui rangkaian aktivitas budaya. Wali Songo sebagai penyebarnya waktu itu, memanfaatkan budaya masyarakat lokal seperti gamelan dan wayang sebagai media dakwah. Hasilnya, mayoritas masyarakat Indonesia hingga kini adalah pemeluk ajaran Islam.
Sampai saat ini pula, beberapa tradisi luhur masih dimanfaatkan masyarakat sebagai wujud syukur dan pengharapan mereka kepada Sang Penguasa Semesta. Di wilayah Gunung Kelud contohnya, prosesi larung sesaji ke gunung masih dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil alam pegunungan dan simbol pengharapan akan kesejahteraan di masa mendatang. Sedangkan pada masyarakat Betawi, menyediakan sesajen sebelum melakukan seni Ondel-ondel-yang menyimbolkan nilai keluhuran-pada acara hajatan seperti sunatan atau pernikahan, dianggap dapat membawa berkah dan menolak bala.
Kehidupan masyarakat Indonesia, yang tersusun atas ragam kebudayaan dan kepercayaan mewajibkan individu di dalamnya menjunjung sikap toleransi yang tinggi. Apalagi dalam keseharian, pembauran budaya dan kepercayaan masih banyak ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, tindakan merusak giat kepercayaan seperti membuang sesajen-sebagaimana dilakukan pria di Semeru-sejatinya melukai sikap toleransi antarbudaya dan agama di Indonesia.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Indonesia, Zainut Tauhid, bahkan turut menyampaikan penyesalannya atas kejadian itu. Menurutnya, tindakan tersebut mengindikasikan tumpulnya rasa kesadaran keberagamaan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. "Apa pun alasannya menendang sesajen itu satu bentuk tindakan yang tidak terpuji. Kita harus bisa saling menghormati perbedaan yang ada, kita tidak bisa memaksakan semua orang memiliki pemahaman dan keyakinan yang sama," jelasnya.
Wamenag juga menambahkan, bahwa Islam melarang umatnya mencela apalagi menistakan agama lain, termasuk melakukan tindakan-tindakan yang menjurus terhadap penghinaan terhadap agama lain. Selain itu, menurutnya Islam sendiri mengajarkan dakwah dengan cara yang baik.
Bijaknya, sikap intoleran seperti yang terjadi di Semeru tersebut, patut dimaknai bersama sebagai titik balik nilai toleransi di Indonesia yang belakangan terasa sedikit mengendur. Sehingga kedepannya, sikap saling menghargai kepercayaan dan juga tradisi dapat selalu diprioritaskan, demi memastikan kelanggengan kehidupan yang toleran dalam berbangsa dan bernegara.
Sejarah telah membuktikan, perpaduan kepercayaan dan kebudayaan justru menghasilkan keharmonisan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman dan penerimaan antara satu pemeluk kepercayaan dengan yang lainnya, harus ikut berkembang dan dipahami lebih dalam, demi keberlangsungan hidup harmonis di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
(RIA)